Menurut
Notonagoro, nilai dapat di bagi menjadi tiga, yaitu:
1.
Nilai material, adalah segala
sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia.
2.
Nilai vital, adalah segala sesuatu
yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan dan aktivitas.
3.
Nilai kerohanian, adalah segala
sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian ini dapat dibedakan
atas 4 (empat) macam yaitu:
a.
Nilai kebenaran kenyataan-kenyataan
yang bersumber kepada unsur akal manusia (ratio, budi, cipta).
b.
Nilai keindahan yang bersumber
pada rasa manusia (perasaan, aestitis).
c.
Nilai kebaikan atau moral, yang
bersumber pada kehendak/kemauan manusia (karsa, etis).
d.
Nilai religius yang merupakan
nilai ketuhanan, nilai kerohanian yang tertinggi dan mutlak.[1]
Nilai-nilai ini bersumber pada kepercayaan/keyakinan
manusia yang mempunyai nilai yang non-material (spiritual). Nilai manusia
relatif dapat diukur dengan mudah melalui alat-alat pengukur. Sedangkan
nilai-nilai rohaniah tidak dapat diukur dengan budi murni manusia. Dalam
hubungannya dengan filsafat, nilai merupakan salah satu hasil pemikiran
filsafat yang oleh pemikirnya dianggap sebagai hasil maksimal yang paling
benar, bijaksana, dan baik. Bagi manusia nilai dijadikan alasan atau motivasi
dalam segala perbuatannya. Dalam bidang pelaksanaannya, nilai itu dijabarkan
dalam bentuk kaidah/norma/ukuran (normatif).[2]
Selain pembagian nilai-nilai diatas, nilai juga dapat
dibagi menjadi 3, nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis:
1.
Nilai Dasar
Walaupun nilai dasar ini memiliki sifat abstrak,
artinya tidak dapat diamati dengan indera manusia, namun dalam realisasinya
nilai dasar ini berkaitan tingkah laku atau perilaku manusia yang bersifat nyata
(praktis). Namun nilai dasar ini merupakan nilai hakikat, esensial, intisari,
atau makna yang terdalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar ini bersifat
universal karena menyangkut hakikat kenyataan objektif segala sesuatu,
misalnya; hakikat Tuhan, manusia, dan segala sesuatu lainnya.[3] Apabila
nilai dasar itu berkaitan dengan Hakikat Tuhan, maka nilai dasar itu bersifat mutlak
karena Tuhan adalah kuasa prima (penyebab pertama) dan segala sesuatu yang diciptakan
berasal dari Tuhan. Nilai dasar itu juga berkaitan dengan hakikat manusia, maka
nilai-nilai dasar tersebut juga bersumber kepada hakikat manusia itu sendiri. Nilai
yang bersumber dengan hakikat kemanusiaan itu dijabarkan dalam norma hukum yang
dapat diistilahkan dengan hak dasar atau (Hak Asasi Manusia).[4]
2.
Nilai Instrumental
Nilai instrumental ialah nilai yang menjadi pedoman
pelaksanaan dan nilai dasar. Nilai dasar belum dapat bermakna sepenuhnya
apabila nilai tersebut belum memiliki formulasi serta ukuran yang jelas dan
konkret.[5] Untuk
dapat direalisasikan dalam suatu kehidupan praksis maka nilai dasar tersebut harus
memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas. Nilai instrumental
yang merupakan suatu pedoman yang dapat diukur dan dapat diarahkan. Jika nilai
instrumental tersebut berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan
sehari-hari maka hal itu akan merupakan norma moral. Namun jika kalau nilai instrumental
itu berkaitan dengan suatu organisasi ataupun negara, maka nilai-nilai
instrumental itu merupakan suatu arahan, kebijaksanaan atau strategi yang
bersumber pada nilai dasar.[6] dalam
kehidupan ketatanegaraan, nilai instrumental itu dapat ditemukan dalam
pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan penjabaran dan nilai-nilai
yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Tanpa ketentuan dalam pasal-pasal
UUD 1945, maka nilai-nilai dasar yang termuat dalam Pancasila belum memberikan
makna yang konkret dalam praktik ketatanegaraan.[7]
3.
Nilai Praktis
Nilai praktis ini hakikatnya merupakan penjabaran
lebih lanjut dari nilai instrumental. Sehingga, nilai praktis ini dimungkinkan
berbeda-beda wujudnya.[8] Nilai
praksis dalam kehidupan ketatanegaraan dapat ditemukan dalam undang-undang
organik, yaitu semua perundang-undangan yang berada di bawah UUD 1945 sampai
kepada peraturan pelaksana yang dibuat oleh pemerintah. Apabila kita melihat
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukurn dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan, dinyatakan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan
merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya, yaitu: Undang-Undang
Dasar 1945, ketetapan MPR-RI, undang-undang, peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (Perpu), peraturan pemerintah.[9]
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-3145763305899807"
crossorigin="anonymous"></script>
0 komentar:
Posting Komentar