Pengertian
Punishment (Hukuman)
Hukuman
menurut bahasa berasal dari bahasa Inggris, yaitu dari kata Punishment yang berarti Law (hukuman) atau siksaan”.[1]
Sedangkan menurut istilah ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para
ahli pendidikan tentang punishment (hukuman), diantaranya adalah sebagai berikut:
a)
Menurut
Malik Fadjar “punishment (hukuman) adalah usaha edukatif untuk
memperbaiki dan mengarahkan siswa ke arah yang benar, bukan praktik
hukuman dan siksaan yang memasung kreativitas”
b)
Menurut Roestiyah “punishment (hukuman) adalah suatu perbuatan yang tidak
menyenangkan dari orang yang lebih tinggi kedudukannya untuk pelanggaran dan
kejahatan, bermaksud memperbaiki kesalahan anak”
c)
Menurut M. Ngalim Purwanto “punishment (hukuman) adalah penderitaan yang
diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang (orang tua, guru, dan
sebagainya) sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan atau kesalahan”
d)
Menurut
Amir Daien “punishment (hukuman) adalah tindakan yang dijatuhkan kepada anak
secara sadar dan disengaja sehingga menimbulkan nestapa. Dan dengan
adanya nestapa itu anak akan menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji
untuk tidak mengulanginya”[2]
e)
Menurut
Ahmadi dan Uhbiyati dalam bukunya yang berjudul Ilmu Pendidikan Punishment
(hukuman) adalah suatu perbuatan, di mana kita secara sadar dan sengaja
menjatuhkan nestapa kepada orang lain, yang baik dari segi kejasmanian
maupun dari segi kerohanian orang lain itu mempunyai kelemahan bila
dibandingkan dengan diri kita, dan oleh karena itu maka kita
mempunyai tanggung jawab untuk membimbingnya dan melindunginya[3]
Dari beberapa pendapat di atas, peneliti dapat menarik kesimpulan, bahwa
punishment (hukuman) adalah suatu perbuatan yang kurang menyenangkan, yang
berupa penderitaan yang diberikan kepada siswa secara sadar dan sengaja,
sehingga sadar hatinya untuk tidak mengulangi lagi.
Punishment (hukuman) sebagai alat pendidikan, meskipun mengakibatkan
penderitaan bagi si siswa yang terhukum, namun dapat juga menjadi alat motivasi,
alat pendorong untuk mempergiat aktivitas belajar siswa (meningkatkan motivasi
belajar siswa). Ia berusaha untuk dapat selalu
memenuhi tugas-tugas belajarnya, agar terhindar dari bahaya hukuman.[4] Dengan
adanya punishment (hukuman) itu diharapkan supaya siswa dapat menyadari
kesalahan yang diperbuatnya, sehingga siswa jadi berhati-hati dalam
mengambil tindakan.
Dalam
memberikan punishment (hukuman) guru tidak boleh bertindak
sewenang-wenang, punishment (hukuman) yang diberikan itu harus bersifat
pedagogis dan bukan karena balas dendam. Punishment (hukuman) bisa
dikatakan berhasil apabila dapat menimbulkan perasaan penyesalan akan perbuatan
yang telah dilakukannya. Di samping itu punishment (hukuman) juga mempunyai dampak sebagai
berikut:
a)
Menimbulkan
perasaan dendam pada si terhukum. Ini adalah akibat dari
b)
hukuman
sewenang-wenang dan tanpa tanggung jawab.
c)
Menyebabkan
siswa menjadi lebih pandai menyembunyikan pelanggaran.
d)
Dapat
memperbaiki tingkah laku si pelanggar.
e)
Mengakibatkan
si pelanggar menjadi kehilangan perasaan salah, oleh karena kesalahannya
dianggap telah dibayar dengan punishment (hukuman) yang telah
dideritanya.
Setelah mengetahui tentang akibat dari punishment (hukuman) sehingga dapat
dikatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai dengan adanya punishment (hukuman)
adalah agar siswa yang melakukan pelanggaran dapat memperbaiki perbuatannya dan
tingkah lakunya yang tidak baik dan diharapkan untuk tidak mengulangi pelanggaran
yang pernah dilakukan. Punishment (hukuman) merupakan
alat pendidikan yang tidak menyenangkan, bersifat negatif, namun demikian
dapat juga menjadi motivasi, alat pendorong untuk mempergiat belajarnya siswa. Siswa
yang pernah mendapat punishment (hukuman) karena tidak mengerjakan tugas, maka ia akan
berusaha untuk tidak memperoleh punishment (hukuman) lagi. Ia berusaha untuk
dapat selalu memenuhi tugas-tugas belajarnya agar terhindar dari bahaya
punishment (hukuman). Hal ini berarti bahwa ia didorong untuk selalu
belajar.[6]
Metode
punishment (hukuman) dalam Islam juga dianjurkan, karena dengan adanya
punishment (hukuman) itu, manusia akan berusaha untuk tidak mendapat punishment
(hukuman), dalam agama Islam dikena dengan dosa, berikut ayat yang menjelaskan tentang
punishment (hukuman), yaitu QS. Al-Baqarah ayat 179 [7]
öNä3s9ur Îû ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ×o4quym Í<'ré'¯»t É=»t6ø9F{$# öNà6¯=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÐÒÈ
Artinya: Dan dalam qishaash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
(QS. Al-Baqarah ayat 179)
Dari ayat
di atas kita dapat mengetahui bahwa dengan adanya punishment (hukuman),
maka terpeliharalah kehidupan manusia. Seba orang akan lebih
berhati-hati dalam melakukan sesuatu. Dalam dunia pendidikan juga
menerapkan punishment (hukuman) tidak lain hanyalah untuk memperbaiki tingkah
laku siswa untuk menjadi lebih baik. Punishment (hukuman) di sini sebagai alat
pendidikan untuk memperbaiki pelanggaran yang dilakukan siswa bukan untuk balas
dendam. Supaya punishment (hukuman)
bisa menjadi alat pendidikan, maka seorang guru sebelum memberikan punishment
(hukuman) pada siswa yang melakukan pelanggaran sebaiknya guru memperhatikan
syarat-syarat punishment (hukuman) yang bersifat pedagogis sebagai berikut:
a)
Tiap-tiap
punishment (hukuman) handaknya dapat dipertanggung jawabkan. Ini berarti
punishment (hukuman) itu tidak boleh sewenang-wenang.
b)
Punishment
(hukuman) itu sedapat-dapatnya bersifat memperbaiki.
c)
Punishment
(hukuman) tidak boleh bersifat ancaman atau pembalasan dendam yang bersifat
perorangan
d)
Jangan
menghukum pada waktu kita sedang marah
e)
Tiap-tiap
punishment (hukuman) harus diberikan dengan sadar dan sudah diperhitungkan atau dipertimbangkan
terlebih dahulu.
f)
Bagi si
terhukum (siswa), punishment (hukuman) itu hendaklah dapat dirasakan
sendiri sebagai kedukaan atau penderitaan yang sebenarnya.
g)
Jangan
melakukan punishment (hukuman) badan sebab pada hakikatnya punishment
(hukuman) badan itu dilarang oleh Negara.
h)
Punishment
(hukuman) tidak boleh merusakkan hubungan baik antara si pendidik dan
siswa
i)
Adanya
kesanggupan memberikan maaf dari si pendidik, sesudah menjatuhkan punishment
(hukuman) dan setelah siswa itu menginsafi kesalahannya.[8]
Di
samping persyaratan di atas, ada juga pendapat yang mengemukakan tentang syarat-syarat
yang diperhatikan dalam memberikan punishment (hukuman), yaitu:
a)
Pemberian
punishment (hukuman) harus tetap dalam jalinan cinta kasih sayang. Kita
memberikan punishment (hukuman) kepada siswa, bukan karena kita ingin
menyakiti hati siswa, bukan karena ingin melampiaskan rasa dendam,
dan sebagainya. Kita menghukum siswa demi kebaikan, demi kepentingan siswa, demi masa
depan dari siswa. Oleh karena itu, sehabis punishment (hukuman) dilaksanakan, maka tidak boleh
berakibat putusnya hubungan cinta kasih sayang tersebut.
b)
Pemberian
punishment (hukuman) harus didasarkan kepada alas an “keharusan”. Artinya
sudah tidak ada alat pendidikan yang lain yang bisa dipergunakan.
Seperti halnya di muka telah dijelaskan, bahwa punishment (hukuman)
merupakan tindakan terakhir kita laksanakan, setelah dipergunakan
alat-alat pendidikan lain tetapi tidak memberikan hasil. Dalam hal ini
kiranya patut diperingatkan bahwa kita hendaknya jangan terlalu terbiasa
dengan punishment (hukuman). Kita tidak boleh terlalu murah dengan
punishment (hukuman). Punishment (hukuman) kita berikan kalau memang
hal itu betul-betul diperlukan, dan harus kita berikan secara bijaksana.
c)
Pemberian
punishment (hukuman) harus menimbulkan kesan pada hati siswa. Dengan adanya
kesan itu, siswa akan selalu mengingat pada peristiwa tersebut. Dan
kesan itu akan selalu mendorong siswa kepada kesadaran dan keinsyafan.
Tetapi sebaliknya, punishment (hukuman) tersebut tidak boleh
menimbulkan kesan yang negatif pada siswa. Misalnya saja menyebabkan
rasa putus asa pada siswa, rasa rendah diri, dan sebagainya. Juga
punishment (hukuman) tidak boleh berakibat siswa memutuskan hubungan
ikatan batin dengan gurunya. Artinya sudah tidak mau menerima
anjuran-anjuran, saran-saran yang diberikan oleh gurunya.
d)
Pemberian punishment
(hukuman) harus menimbulkan keinsyafan dan penyesalan pada siswa.
Inilah yang merupakan hakekat dari tujuan pemberian punishment
(hukuman). Dengan adanya punishment (hukuman) siswa harus merasa insyaf dan menyesali
perbutannya yang salah itu. Dan dengan keinsyafan ini siswa berjanji di dalam hatinya sendiri untuk
tidak mengulangi lagi.
e)
Pada
akhirnya, pemberian punishment (hukuman) harus diikuti dengan pemberian
ampun dan disertai dengan harapan serta kepercayaan. Setelah siswa selesai menjalani hukumannya, maka
guru sudah tidak lagi menaruh atau mempunyai rasa ini dan itu terhadap siswa
tersebut.
Dengan begitu guru dapat menunaikan tugas kembali dengan perasaan yang
lega, yang bebas, dan penuh dengan gairah dan kegembiraan. Di samping itu, kepada siswa harus diberikan
kepercayaan kembali serta harapan bahwa siswa itu pun akan sanggup dan
mampu berbuat baik seperti teman-temannya yang lain.[9]
0 komentar:
Posting Komentar