Rabu, 31 Agustus 2016

KETELADANAN SEBAGAI PROSES INTERNALISASI

KETELADANAN SEBAGAI PROSES INTERNALISASI

Internalisasi adalah peresapan nilai dari luar ke dalam diri (to convey value from outside into inside a person’s mind), atau mengubah sesuatu yang semula gharïb (غريب), asing,  menjadi qarïb (قريب), akrab (ليقرّب ما كان الغريب). Internalisasi. Dalam tulisannya, Ahmad Haes mengutip dari Dr. Mudji Sutrisno, internalisasi adalah sebuah tahap di mana orang memproses pembatinan nilai dari sesuatu yang di luar dirinya (eksternal) menjadi bagian dari dirinya atau batinnya (internal).
Proses internalisasi merupakan proses peresapan, karena proses ini memerlukan waktu yang cukup lama dan membutuhkan cukup tenaga, adapun bentuk prosesnya adalah Sesuatu yang sebelumnya merupakan pengetahuan dari luar yang disampaikan sebagai pengetahuan kognitif, kini diproses dalam pembatinan untuk menjadi sesuatu yang afektif menyatu dengan dirinya. Di tahap internalisasi inilah terletak batu uji apakah seseorang ‘hanya ditempeli atau menempelkan nilai’ sebagai kulit luar untuk pribadinya ataukah ia mampu membatinkannya menjadi miliknya[1].
Keteladanan dalam pendidikan merupakan bagian dari sejumlah metode paling ampuh dan efektif dalam mempersiapkan dan membentuk anak secara moral, spiritual dan sosial. Sebab, seorang pendidik merupakan contoh ideal dalam pandangan anak, yang tingkah laku dan sopan santunnya akan ditiru, disadari atau tidak; bahkan semua keteladanan itu akan melekat pada diri dan perasaannya, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, hal bersifat material inderawi, maupun spiritual[2].
Anak lahir dalam keadaan belum memiliki pengetahuan apapun tentang hidup, sehingga anak akan selalu membutuhkan bimbingan orang tua, anak akan bertutur kata dan berperilaku baik dengan bimbingan orang tua. Menurut Syaikh Akram Mishbah Utsman ”Seorang anak membutuhkan keteladanan, ia akan mencontoh dari kedua orang tua atau guru, karena dia memang memiliki kecenderungan untuk mencontoh dan mengikuti. Apabila dia menyenangi seseorang, dia pun mengikuti dan berjalan sesuai dengan gayanya dan berupaya untuk dapat menirunya”[3].
Orang tua memiliki kewajiban dan tanggung jawab akan masa depan anak, oleh karena itu orang tua harus membimbing dan mengajarkan anak dengan memberikan contoh yang baik. Orang tua yang ingin mempersiapkan anak-anak untuk kehidupan yang akan datang harus mengajarkan kepada mereka bagaimana mengembangkan sikap yang menarik (a winning attitude) sebagai cara hidup. Sikap-sikap positif menuntun pada tingkah laku dan perbuatan yang baik[4].
Jadi, keteladanan dapat dikatakan proses internalisasi karena terdapat proses yang berkesinambungan (continue) dan pemberian contoh secara langsung dengan prilaku maupun ucapan dalam pelaksanaannya. Untuk tercapainya proses internalisasi keteladanan memerlukan waktu dan tenaga yang cukup ekstra, karena apa yang kita/orang tua  lakukan setiap hari merupakan cermin bagi anak, dan hal tersebut sering terulang-ulang, sehingga orang tua harus berhati-hati dalam bertutur kata dan bersikap, oleh karena itulah proses internalisasi keteladanan memerlukan waktu dan tenaga yang cukup ekstra.

Dasar kepribadian seseorang terbentuk dari masa kanak-kanak. Proses perkembangan kepribadian yang terjadi pada diri seorang anak tidak hanya berasal dari faktor hereditas, melainkan juga berasal dari lingkungan tempat anak hidup dan berkembang menjadi manusia dewasa. Dari faktor-faktor itulah kepribadian seseorang terbentuk, baik secara sedikit demi sedikit maupun drastis.
Dalam bahasa Indonesia kata “kepribadian” berasal dari kata “pribadi” yang berarti ,manusia sebagai perseorangan (diri manusia atau diri sendiri). Kemudian kata “pribadi” mendapat imbuhan ke-an sehingga menjadi kata “kepribadian”. Dalam Kamus Besar Indonesia kata “kepribadian” mengandung arti sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau bangsa yang membedakannya dari orang atau bangsa lain[5].
W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “kepribadian” adalah keadaan manusia sebagai perseorangan; keseluruhan sifat-sifat yang merupakan watak orang (bisa juga bergeser berarti: orang yang baik sifat dan wataknya)[6].
Dalam terminologi psikologi kepribadian, secara etimologi kata “kepribadian dipadankan dengan kata yang berasal dari bahasa Inggris yakni “personality” yang diambil dari bahasa latin “persona” yang berarti kedok atau topeng. Yaitu tutup muka yang sering dipakai oleh pemain-pemain panggung yang maksudnya untuk menggambarkan perilaku, watak atau perilaku seseorang. Hal itu dilakukan oleh karena terdapat ciri-ciri yang khas yang dimiliki seseorang, baik dalam arti kepribadian yang buruk maupun yang baik.
The term ”personality” comes from the latin word persona, meaning ”mask” Among The ancient Greeks, the actors wore masks to hide their identity and to enable them to represent the characters they were depicting in the play. This dramatic technique was later adopted by the Romans, and from them we get our modern term personality.
To the Romans persona meant ”as one to others” not as one actually is. The actor was creating, in the minds of the audience, an impression of the character he was depiciting on the stage, not an impression of what he himself was. From this connotation of the word persona, our popular idea of personality as the effect one has on others has been derived. What a person is, how he thinks and feels, and what is included in his whole psychological make-up are, to a great axtent, revealed through his behavior. Personality, then, is not one definite, specific attribute; rather, it is, as Woodworth and Marquis claimed, the ”quality of the individual’s total behavior”[7].

Pengertian di atas adalah Hurlock merinci lagi etimologi “personality”. Menurutnya, pada bangsa Yunani Kuno aktor memakai topeng untuk menyembunyikan identitas mereka dan untuk memungkinkan mereka memerankan tokoh dalam drama. Teknik dramatik ini kemudian di ambil alih bangsa Roma, “persona” berarti seseoarng tampak pada orang lain, bukan diri sebenarnya. Aktor menciptakan dalam pikiran penonton suatu impresi dari tokoh yang diperankan di atas pentas, bukan impresi dari diri aktor itu sendiri. Dari konotasi kata “persona” inilah gagasan umum mengenai kepribadian sebagai kesan yang diberikan seseorang pada orang lain diperoleh. Apa yang dipikirkan, dirasakan, dan siapa dia sesungguhnya termasuk ke dalam keseluruhan “make-up” psikologis seseorang dan sbagian besar terungkapkan melalui perilaku. Karena itu kepribadian bukanlah atribut yang pasti dan spesifik, melainkan merupakan kualitas perilaku total seseorang.
Agus Sujanto dkk., mengutip pendapat M. Prince mejelaskan kepribadian adalah di samping disposisi yang dibawa sejak lahir, berperan pula disposisi-disposisi psikis lainnya yang diperoleh dari pengalaman. Sedangkan May mendefinisikan bahwa kepribadian merupakan perangsang bagi orang lain. Jadi bagaimana cara orang lain itu bereaksi terhadap kita, itulah kepribadian kita[8].

Allport has defined personality as the dynamic organization whitin the individual of those psychophysical systems that determine his unique adjustments to his environment. The ”psychophysical systems” are the habits, attitudes, values, beliefs, emotional states, sentiments, and motives Which are psychological in nature but which have a physical basis in the child’s neural, glandular, and general bodily states. These systems are not the product of heredity, though they are based on hereditary foundations; they have been developed through learning as a result of the child’s various experience[9] 

Dari pengertian di atas  Kepribadian menurut Allport adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem psiko-fisik indvidu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran indvidu secara khas. Terjadinya Interaksi psiko-fisik mengarahkan tingkah laku manusia. Maksud dinamis pada pengertian tersebut adalah perilaku mungkin saja berubah-ubah melalui proses pembelajaran atau melalui pengalaman-pengalaman, reward, punishment, pendidikan dsb.
Kepribadian adalah semua corak perilaku dan kebiasaan individu yang terhimpun dalam dirinya dan digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan baik dari luar maupun dari dalam. Corak perilaku dan kebiasaan ini merupakan kesatuan fungsional yang khas pada seseorang[10].
Kepribadian adalah ciri, karakteristik, gaya atau sifat-sifat yang memang khas dikaitkan dengan diri kita. Dapat dikatakan bahwa kepribadian itu bersumber dari bentukan-bentukan yang kita terima dari lingkungan, misalnya bentukan dari keluarga pada masa kecil kita dan juga bawaan-bawaan yang dibawa sejak lahir. Jadi yang disebut kepribadian itu sebetulnya adalah campuran dari hal-hal yang bersifat psikologis, kejiwaan dan juga yang bersifat fisik[11].

Personality is : the complex of all the attributes-behavioral, temperamental, emotional and mental--that characterize a unique individual; "their different reactions reflectedtheir very different personalities"; "it is his nature to help others[12].

Pengertian di atas merujuk pada ciri-ciri perilaku yang kompleks terdiri dari temperamen (reaksi emosi yang cenderung menetap dalam merespon situasi atau stimulus lingkungan secara spontan), emosi yang bersipat unik dari individu. Reaksi yang berbeda dari masing-masing individu menunjukan perbedaan kepribadian.
Pada waktu lahir kedunia ini seorang anak belum memiliki kepribadian, ia hanya memiliki potensi atau fitrah untuk berkembang menjadi manusia. Srartain memberikan definisi kepribadian sebagai berikut : “Kepribadian ialah suatu organisasi atau susunan dari pada sifat-sifat dan aspek-aspek tingkah laku lainnya yang saling berhubungan di dalam suatu individu”. kepribadian, menurut pengertian sehari-hari atau masyarakat awam, menunjuk pada gambaran bagaimana individu tampil dan menimbulkan kesan bagi individu-individu yang lainnya[13].
Dalam bukunya, Jalaluddin dan Ramayulis berpendapat bahwa ada beberapa istilah yang dikenal dalam kepribadian yaitu : Mentality, Personality, Indivuduality, dan identity. dari beberapa istilah yang dikenal dalam kepribadian tersebut para ahli mengemukakan definisinya debagai berikut :
1.      Woodworth : Kepribadian adalah kualitas dari seluruh timgkah laku.
2.      Mark A. May : Kepribadian adalah nilai perangsang sosial seseorang.
3.      Hartman : Kepribadian adalah susunan yang terintegrasikan dari cirri-ciri umum seseorangindividu sebagaimana yang dinyatakan dalam corak khas yang tegas yang diperlihatkannya kepada orang lain.[14]
Dalam Islam, kepribadian disebut dengan Akhlak, yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Setiap manusia tidak lepas dari akhlak, karena ia merupakan bagian dari padanya. Demikian itu, dijelaskan oleh Ibnu Maskawaih yaitu:
حال للنفس داعية لها الى افعالها من غير فكر وروية

“Akhlak adalah sikap yang tertanam dalam jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.[15]

Al-Ghazali memberikan definisi akhlak sebagai berikut:
عبارة عن هيئة في النفس راسخة عنها تصدر الأفعال بسهولة ويسر من غير حاجة الى فكر وروية فان كانت الهيئة بحيث تصدر عنها الأفعال لجميلة المحمودة عقلا و شرعا سميت تلك الهيئة خلقا حسنا وان كان الصادر عنها الأفعال القبيحة سميت الهيئة التي هي المصدر خلقا سيئا
”Akhlak adalah suatu sikap (bay’ah) yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu yang lahir darinya perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal dan syara’, maka ia disebut akhlak yang baik, dan jika yang lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk[16].

 Dari beberapa pendapat di atas, dapat diartikan bahwa akhlak atau Kepribadian dapat dilihat dari sikap atau perilaku seseorang secara keseluruhan arti keseluruhan itu adalah semua sikap dan perilaku yang sering dilakukan setiap hari, sebagaimana Marimba menyatakan bahwa kepribadian meliputi kwaliteit keseluruhan diri seseorang. Kwaliteit itu akan tampak dalam cara-caranya berbuat, cara-caranya berpikir, cara-caranya mengeluarkan pendapat, sikapnya, minatnya, filsafat hidupnya serta kepercayaannya.
Lebih lanjut Marimba menjelaskan, pada garis besarnya aspek-aspek kepribadian itu dapat digolongkan dalam tiga hal:
I.       Aspek-aspek kejasmaniahan; meliputi tingkah laku luar yang mudah nampak dan ketahuan dari luar, misalnya: cara-caranya berbuat, cara-caranya berbicara, dsb.
II.    Aspek-aspek kejiwaan; meliputi aspek-aspek yang tidak segera dapat dilihat dan ketahuan dari luar, misalnya: cara-caranya berpikir, sikap dan minat.
III. Aspek-aspek kerohanian yang luhur; meliputi aspek-aspek kejiwaan yang lebih abstrak yaitu filsafat hidup dan kepercayaan. Ini meliputi sistem nilai-nilai yang telah meresap di dalam kepribadian itu, yang telah menjadi bagian dan mendarah daging dalam kepribadian yang mengarahkan dan memberi corak seluruh kehidupan individu itu. Bagi orang-orang yang beragama, aspek-asoek inilah yang menuntun ke arah kebahagiaan, bukan saja didunia tetapi juga di akhirat. Aspek-asoek inilah yang memberi kwalitet kepribadian keseluruhannya.[17]

Dari batasan-batasan kepribadian yang dikemukakan para ahli tersebut, maka penulis mencirikan bahwa kepribadian merupakan merupakan suatu kebulatan yang bersifat kompleks yang disebabkan oleh faktor luar dan faktor dalam yang ikut menentukan kepribadian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah wujud dinamis keseluruhan aspek psikofisik yang unik dari seseorang yang tampak dalam tingkah lakunya.

<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-3145763305899807"
     crossorigin="anonymous"></script>



[1] Ahmad Haes. Surat Muzzammil : Kiat Internalisasi Nilai Al-Quran (http//www.wordpress.com), 15.30, 11-03-2009.
[2] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam Kaidah-Kaidah Dasar, (PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1992), Cet. I, h. 1.
[3] Syaikh Akram Mishbah Utsman, 25 Cara Mencetak Anak Tangguh, (Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2005), Cet. I, h. 9.
[4] Faramarz bin Muhammad Rahbar, Selamatkan Putra..., Cet. II, h. 59 
[5] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Edisi Ketiga; Jakarta: Balai Pustaka 2002) Cet. II, h. 895.
[6] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985) Cet. VIII, h. 768.
[7] Elizabeth B. Hurlock, Child development, (Copyright : 1956, 1964, 1972, by McGraw-Hill. Inc), h. 462.
[8] Agus Sujanto dkk., Psikologi Kepribadian, (Jakarta: Bumi Aksara 1997), Cet ke-10, hal. 11
[9] Elizabeth B. Hurlock, Child development, (Copyright : 1956, 1964, 1972, by McGraw-Hill. Inc), h. 462

[10] Iyus Yosep, SKp., MSi, Pengertian Kepribadian, (http//www.akademik.unsri.ac.id) 13.30, 17-11-2009.
[11]  Kepribadian, (http://www.telaga.org/ringkasan.php?kepribadian.htm), 13.30, 17-11-2009
[12] Pesonality, (http://dict.die.net/personality/personality) 13.30, 17-11-2009.
[13] Muhammad Baitul Alim, Pengertian Kepribadian Menurut Awam dan Psikologi, (http//www.Psikologizone.com) 13.30, 17-11-2009.
[14] Jalaluddin dan Ramayulis, PengantarIlmu Jiwa Agama, (Jakarta : Kalam Mulia, 1998) Cet. IV, h. 87-88.
[15] HM. Ardani, Akhlak-Tasawuf, (Jakarta: CV. Karya Mulia, 1998), Ed. Ke-2, h. 27.
[16] HM. Ardani, Akhlak-..., h. 27.
[17] Ahmad D. marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif 1986) Cet. VI, h. 67.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © MAHSUN DOT NET