Permasalahan Anak
Terlantar
Dalam Undang Undang tentang
perlindungan anak BAB I pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.[1]
Sedangkan pengertian anak terlantar dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
anak terlantar berarti anak yang tidak terpelihara.[2] Dalam
UU No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pada BAB I Pasal 1 ayat 6
disebutkan bahwa anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab tidak
dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar, baik secara rohani,
jasmani, maupun sosial.[3]
Pengertian tersebut memfokuskan permasalahan ketelantaran anak karena ketidak
terpenuhinya kebutuhan dasar anak dan belum jelas tentang siapa yang menjadi
pemenuh kebutuhan anaktersebut.
Istilah anak terlantar digunakan
untuk mengacu pada anak-anak yang orang tuanya dengan alasan tertentu tidak
mampu memenuhi kebutuhan anak mereka, akibatnya anak tersebut menjadi
terlantar.[4]
Istilah tersebut diartikan anak dengan orang tua yang tidak bisa memenuhi
kebutuhan anak.
Menurut Bagong Suyaanto, anak
terlantar adalah yang karena suatu sebapb tidak mendapatkan hak-hak untuk
tumbuh dan berkembang secara wajar, untuk mendapatkan pendidikan yang layak,
untuk memperoleh kesehatan yang memadai hak-haknya
tidak terpenuhi karena kelalainan, ketidak mengertian orang tua,
ketidak kemampuan atau merupakan suatu kesengajaan.[5]
Pengertian tersebut menunjukan bahwa anak terlantar tidak terpenuhi haknya
disebabkan orang tua.
Dari pengertian tersebut dapat
diketahui bahwa sebenarnya anak terlantar ialah seseorang yang berusia dibawah
usia 18 tahun yang terabaikan segala hak dan kebutuhannya karena adanya
hambatan dari orang tua karena keadaan maupun kesengajaan.
Anak terlantar sebagaimana pada
umumnya anak mereka memerlukan kebutuhan dasar sebagai mana haknya karena hal
tersebut sangat berkaitan dengan tumbuh kembang anak. Anak akan mampu tumbuh
dan berkembang secara wajar apabila terpenuhi kebutuhannya. Pendapat
Oswal Kroh dalam Kartini Kartono mengungkapkan kebutuhan dasar yang meliputi:
a. Kebutuhan fisik, biologis, sebagai
tuntutan yang harus dipenuhi yang menghambat pertumbuhanfisiknya.
b. Kebutuhan mental psikis, yaitu
menjamin kesehatan jasmani dan rohani anak yang berkaitan dengan eksistensinya
sebagai mahluk mentalpsikis.
c. Kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan
yang berkaitan dengan eksistensi manusia sebagai mahluk yang tidak dapat hidup
tanpa mahluklain.[6]
Berkaitan dengan pemenuhan hak-hak
tersebut, Undang-undang kesejahteraan anak tahun 1979 bdengan jelas mengatakan
bahwa tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan fisik, psikologis dan sosial
tersebut merupakan tanggung jawab utama orang tua.[7]
Namun pada kasus anak terlantar, hak-hak tersebut tidak terpenuhi akibat
kelalaian oleh orang tua.
Anak-anak sebagai penerus cita-cita
bangsa dimasa yang akan datang, maka perlu mempersiapkan hal dengan
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk terpenuhi segala haknya. Pada
kasus anak terlantar, maka diperlukan bantuan akan pelayanan pemenuhan hak
tersebut. Pada Pasal 34 ayat 1 dan 2 Undang-undang dasar Republik Indonesia
bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Hal tersebut
menunjukan bahwa negara berkewajiban membantu anak telantar untuk terpenuhi
segala hak-haknya tersebut.Keterbatasan pelayanan pemerintah dengan jumlah anak
terlantar yang tersebar di seluruh Indonesia menjadi kendala dalam pemenuhan
hak anaktersebut.
Undang-undang nomor 11 tahun 2009
ditegaskan bahwa usaha terhadap anak-anak terlantar tersebut bukan hanya
tanggung jawab pemerintah saja tapi juga masyarakat memiliki kesempatan
seluas-luasnya untuk berpartisipasi.[8]
Salah satu upaya partisipasi masyarakat dalam hal tersebut dengan adanya panti
asuhan yang dikelola swasta guna membantu anak terlantar dalam memenuhi haknya
karena panti asuhan merupakan lembaga kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh
pemerintah atau masyarakat yang bertanggung jawab memberikan pelayanan penganti
dalam pemenuhan kebutuhan fisik, mental dan sosial pada anak asuhnya, sehingga
mereka memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi perkembangan
kepribadian sesuai dengan harapan.
Penyelesaian kasus anak terlantar tersebut memang harus diupayakan agar jumlah
anak terlantar semakin berkurang demi kebaikan para penerus generasi bangsa
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-3145763305899807"
crossorigin="anonymous"></script>
[2]
Purwardarminta,W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakara.PT.Balai
Pustaka. 2011) Edisi III h.1232
[4] Save The Children, DEPSOS RI dan
UNICEF, Seseorang Yang Berguna: Kualitas Pengasuhan Panti Asuhan Anak di
Indonesia, (PT.Panji Grafika Jaya: 2007) h.27
[6] Andayani Listyawati, Penanganana
Anak Terlantar Melalui Panti Asuhan Milik Perseorangan.
(Yogyakarta.2008.B2P3KS PRESS) h.12-13
[8] Eni Hardiati, Evaluasi Model
Pelayanan Sosial Anak Terlantar di dalam Panti, (Yogyakarta: B2P3KS.2010)
h.22-23
0 komentar:
Posting Komentar