- Pengertian
Kewarisan
Ungkapan
yang dipergunakan oleh al-Quran untuk menunjukan adanya kewarisan dapat dilihat
pada tiga jenis, yakni al-Irts, al-Faraid, dan al-Tirkah.
a.
Al-Irts
Al-Irts adalah bentuk
mashdar dari kata waritsa, yaritsu, irtsan. Bentuk mashdar-nya
bukan saja kata irtsan, melainkan termasuk juga kata waritsan,
turatsan, dan wiratsatan. Kata-kata itu berasal dari kata asli waritsa,
yang berakar kata dari huruf-huruf waw, ra, dan tsa yang bermakna dasar perpindahan harta milik,
atau perpindahan harta.[1]
Berangkat dari makna dasar ini, maka dari segi makna yang lebih luas,
kata al-irts mengandung arti perpindahan sesuatu dari seseorang kepada
seseorang, atau perpindahan dari satu kaum kepada kaum lainya, baik berupa
harta, ilmu, atau kemuliaan.[2]
Tetapi dalam kontek ilmu mawaris, al-Irts mempunyai makna harta
warisan yang siap dibagi oleh ahli waris sesudah diambil untuk kepentingan
pemeliharaan jenazah (tajhiz al-janazah), pelunasan utang, serta
pelaksanaan wasiat.[3]
b.
Al- Farâid
Kata farâid (فرائض) adalah bentuk jama’ dari farîdah (فريضة) yang bermakna mafrûdah (مفروضة)yaitu sesuatu yang
diwajibkan. Artinya جُزْءٌ مُقَدَّرٌ مِنَ السِّهَامِ saham-saham yang
telah ditentukan kadarnya[4].
Dengan demikian penyebutan Farâid didasarkan pada bagian yang
diterima oleh ahli waris.
Berdasarkan saham-saham yang sudah menjadi hukum pasti itu, ternyata
kontek kata yang merujuk pada kepastiannya terdiri dari dua kata. Pertama, dalam
surat al-Nisâ ayat 7, kontek katanya berbunyi mafrûda. Menurut al-Maraghiy, hal
itu mengandung makna bahwa saham yang telah ditetapkan kadarnya itu, para ahli
waris harus mengambilnya sedikit atau banyak menurut saham yang telah
ditetapkan Allah.[5] Kedua,
dalam surat al-Nisâ ayat 11, kontek katanya berbunyi faridatan. Kata al-Maraghiy, kata itu mengandung maksud bahwa
saham-saham yang disebutkan itu disertai siapa-siapa ahli waris yang akan
memperoleh saham itu. Dan ini merupakan ketetapan yang harus diimplementasikan.[6]
Dari dua konteks kata yang berbeda itu, maka dapat dinyatakan bahwa surat
al-Nisâ ayat 4 bersifat umum karena baik saham-saham
maupun jumlah ahli waris belum disebutkan satu persatu. Adapun surat al-Nisâ ayat 11 bersifat
khusus karena baik saham maupun jumlah ahli waris telah disebutkan secara
terperinci.[7]
c.
Al-Tirkah
Al-Tirkah dalam bahasa Arab adalah bentuk masdar dari kata
tunggal taraka. Dan tercatat 28 kali dalam al-Quran dalam berbagai
kontek kata yaitu taraka 24 ayat, tatruku 1 ayat, dan tariku
3 ayat. Sehingga mengandung berbagai makna dasar, yakni membiarkan[8],
menjadi[9],
mengeluarkan lidah[10],
meninggalkan agama[11],
dan harta peninggalan.[12]
Namun dalam pembahasan ini dibatasi pada makna harta peninggalan, yang
tercantum pada surat al-Nisa, 4:7, 11, 12, 23, dan 176.[13]
Keseluruhan kata taraka yang terdapat dalam surat al-Nisâ adalah berbentuk madi, rahasianya karena yang
meninggal adalah seorang pewaris. Untuk itu Abu Zahra mengatakan bahwa huruf ma
pada kata mimma taraka atau ma taraka yang terdapat dalam ayat
tersebut mengandung makna semua yang ditinggalkan oleh pewaris berupa harta
menjadi milik ahli waris, baik sedikit maupun banyak.[14]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tirkah adalah segala sesuatu
yang ditingalkan ahli waris, baik berupa harta maupun hak. Dan tirkah itu
bisa dibagikan kepada ahli warisnya setelah dikurangi biaya penguburan,
pelunasan utang, dan wasiat pewaris.
Dari uraian diatas, dapat dikemukakan bahwa konsep kewarisan yang terdiri
atas al-Irts, al-Farâid, dan al-Tirkah mempunyai unsur yang berbeda. Istilah al-Irts
mengacu kepada sebab terjadinya kewarisan dengan unsur utamanya adalah
perkawinan, hubungan nasab, dan hubungan wala.[15]
Istilah al-Farâid mengacu kepada format saham yang akan diterima oleh ahli waris, yakni
1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8, dan 2/3. Adapun istilah al-Tirkah mengacu
kepada kewajiban pewaris yang harus dipenuhi oleh ahli warisnya sebelum harta
pusakanya dibagi habis oleh ahli warisnya, berupa biaya jenazah, pelunasan
utang, dan pemenuhan wasiat.[16]
- Sejarah
Kewarisan Islam
Orang-orang Arab Jahiliyah adalah tergolong salah satu bangsa yang gemar
mengembara dan berperang. Kehidupan mereka sedikit banyak tergantung pada hasil
jarahan dan rampasan perang, di samping ada yang tergantung dari hasil
memperniagakan rempah-rempah.[17]
Mereka juga saling bersaing antar qabilah dan membanggakan qabilah
masing-masing, sehingga tak jarang berakhir dengan peperangan antar qabilah.[18]
Dalam bidang muamalah dan pembagian harta pusaka mereka berpegang teguh
pada tradisi-tradisi yang telah diwariskan pada mereka. Dalam tradisi pembagian
harta pusaka yang diwarisi dari leluhur mereka terdapat satu ketentuan utama
bahwa anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan dilarang mepusakai harta
peninggalan, bahkan janda perempuan dari si mayit dijadikan harta yang bisa
diwariskan.[19]
Menurut mereka ahli waris yang berhak menerima warisan dari keluarganya
yang meninggal adalah mereka yang laki-laki, berfisik kuat, dan dapat memanggul
senjata untuk mengalahkan musuh dalam setiap peperangan. Kepentingan suku
(qabilah) menjadi sangat diutamakan, karena demi sukunya itulah martabat
dirinya dipertaruhkan. Sehingga
hukum kewarisan yang terjadi ketika itu, anak-anak baik laki-laki maupun
perempuan tidak berhak mewarisi harta peninggalan keluarganya. Demikian juga
perempuan mendapat perlakuan diskriminatif. Bagi mereka, perempuan tidak
ubahnya bagaikan barang , bisa diwariskan dan di perjualbelikan.[20]
Adapun
sebab-sebab pewarisan pada zaman sebelum Islam adalah sebagai berikut:[21]
a. Adanya Pertalian Kerabat (qarabah)
Para ahli
waris dari golongsn kerabat semuanya terdiri dari kaum laki-laki. Mereka itu
adalah :
1) Anak laki-laki
2) Saudara laki-laki
3) Paman
4) Anak laki-laki paman
Pertalian
kerabat saja belumlah cukup kiranya dijadikan alasan untuk menuntut hak pusaka,
selagi belum dilengkapi dengan adanya kekuatan jasmani yang cukup untuk
membela, melindungi, dan memelihara qabilah atau sekurang-kurangnya keluarga
mereka. Persyaratan ini mempunyai motivasi untuk menyisihkan anak-anak yang
belum dewasa dan kaum perempuan.[22]
b. Adanya Janji Prasetia (muhalafah)
Janji
prasetya dijadikan dasar pewarisan karena melalui perjanjian ini sendi-sendi
kekuatan dan martabat suku dapat dipertahankan.[23] Hal ini akan terjadi dan
mempunyai kekuatan hukum bila salah seorang pihak telah mengikrarkan janji
prasetyanya kepada pihak lain, dengan ucapan (sumpah) seperti :
Darahku darahmu,
pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, perjuanganku perjuanganmu, perangku
perangmu, damaiku damaimu, kau mempusakai hartaku akupun mempusakai hartamu,
...[24]
c. Adanya Pengangkatan anak (tabanny)
Dalam
tradisi Jahiliyah, pengangkatan anak merupakan perbuatan hukum yang lazim.
Status anak angkat disamakan dengan kedudukannya dengan anak kandung, sehingga
saling waris mewarisi, dan hubungan keluarganya terputus sehingga tidak bisa
mewarisi harta peninggalan ayah kandungnya.[25]
Pada masa
awal-awal Islam, hukum kewarisan belum mengalami perubahan yang berarti. Bahkan
di dalamnya terdapat penambahan-penambahan yang lebih berkonotasi strategis
untuk kepentingan dakwah. Tujuannya adalah merangsang ikatan persaudaraan demi
perjuangan dan keberhasilan misi Islam.
Dasar-dasar
pewarisan yang digunakan pada masa awal Islam adalah:
a. Pertalian kerabat
Ketentuan
pertalian kerabat zaman Jahiliyah yang terbatas pada anak laki-laki dewasa dan
mendiskriminasikan anak-anak dan perempuan, dihapus dengan firman Allah swt,
ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# cqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uèYx. 4
$Y7ÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B (النساء : ٧)
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian
yang telah ditetapkan”.[26]
b. Janji prasetia
Yang dimaksud janji prsetia ialah mereka yang saling
bersumpah setia. Adapun ketentuan tentang janji prasetia berdasarkan firman
Allah surat al-Nisâ ayat 33, yang berbunyi :
9e@à6Ï9ur $oYù=yèy_ uÍ<ºuqtB $£JÏB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# cqç/tø%F{$#ur 4
tûïÏ%©!$#ur ôNys)tã öNà6ãZ»yJ÷r& öNèdqè?$t«sù öNåkz:ÅÁtR 4
¨bÎ) ©!$# tb%2 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« #´Îgx© (النساء :٣٣)
“Bagi tiap-tiap
harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat,
Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah
bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya.
Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.[27]
telah dinasakh dengan surat al-Anfâl ayat 75, yang berbunyi :
tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä -ÆÏB ß÷èt/ (#rãy_$ydur (#rßyg»y_ur öNä3yètB y7Í´¯»s9'ré'sù óOä3ZÏB 4
(#qä9'ré&ur ÏQ%tnöF{$# öNåkÝÕ÷èt/ 4n<÷rr& <Ù÷èt7Î/ Îû É=»tFÏ. «!$# 3
¨bÎ) ©!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« 7LìÎ=tæ (الأنفال:٧٥)
“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu
kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk
golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih
berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
[28]
c. Pengangkatan anak
Dalam
perkembangannya, masalah pengangkatan anak tidak lagi berjalan, karena Islam
menghapuskannya. Terkecuali apabila yang diinginkan mengangkat anak hanya
bermotivasi sosial atau semacam orang tua asuh, justru sangat dianjurkan.[29] Penghapusan pengangkatan
anak sebagai dasar pewarisan, ditegaskan dalam Firman Allah swt:
$¨B @yèy_ ª!$# 9@ã_tÏ9 `ÏiB Éú÷üt7ù=s% Îû ¾ÏmÏùöqy_ 4
$tBur @yèy_ ãNä3y_ºurør& Ï«¯»©9$# tbrãÎg»sàè? £`åk÷]ÏB ö/ä3ÏG»yg¨Bé& 4
$tBur @yèy_ öNä.uä!$uÏã÷r& öNä.uä!$oYö/r& 4
öNä3Ï9ºs Nä3ä9öqs% öNä3Ïdºuqøùr'Î/ (
ª!$#ur ãAqà)t ¨,ysø9$# uqèdur Ïôgt @Î6¡¡9$# ۚ öNèdqãã÷$# öNÎgͬ!$t/Ky uqèd äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# 4
bÎ*sù öN©9 (#þqßJn=÷ès? öNèduä!$t/#uä öNà6çRºuq÷zÎ*sù Îû ÈûïÏe$!$# öNä3Ï9ºuqtBur 4
}§øs9ur öNà6øn=tæ Óy$uZã_ !$yJÏù Oè?ù'sÜ÷zr& ¾ÏmÎ/ `Å3»s9ur $¨B ôNy£Jyès? öNä3ç/qè=è% 4
tb%2ur ª!$# #Yqàÿxî $¸JÏm§ (الأحزاب:٥-٤ )
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi
seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan
isteri-isterimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan
anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah
perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia
menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan
(memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan
jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang . [30]
d. Hijrah (dari Mekah ke Madinah)
Ajakan
hijrah Rasulullah saw kepada orang-orang Mekah agaknya kurang mendapat sambutan
positif dari warga Mekah, sehingga beliau perlu memberi rangsangan bahwa
keluarga yang ikut hijrahlah yang nantinya berhak mewarisi, apabila saudaranya
meninggal dunia.[31]
Ketika
Rasulullah menerima perintah Allah swt agar meninggalkan kota Mekah, beliau
bersama sahabat-sahabat beliau menuju Madinah. Disini beliau berserta rombongan
mendapat sambutan yang sangat baik, mendapat tempat tinggal, kebutuhan
sehari-hari serta perlindungan dari musuh-musuh.
Rasulullah
saw mengangkat tali persaudaraan antara golongan muhajirin dengan orang anshar.
Maka seseorang muhajirin apabila meninggal dengan tidak mempunyai seorang wali
yang muhajirin maka harta peninggalannya, diwarisi oleh saudaranya yang Anshar
itu.[32]
Kebijaksanaan
Rasul tersebut mendapat pengesahan dari Allah swt melalui Firman-Nya:
¨bÎ) z`Ï%©!$# (#qãZtB#uä (#rãy_$ydur (#rßyg»y_ur óOÎgÏ9ºuqøBr'Î/ öNÍkŦàÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# tûïÏ%©!$#ur (#rur#uä (#ÿrç|ÇtR¨r y7Í´¯»s9'ré& öNåkÝÕ÷èt/ âä!$uÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4
tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä öNs9ur (#rãÅ_$pkç $tB /ä3s9 `ÏiB NÍkÉJu»s9ur `ÏiB >äóÓx« 4Ó®Lym (#rãÅ_$pkç 4
ÈbÎ)ur öNä.rç|ÇZoKó$# Îû ÈûïÏd9$# ãNà6øn=yèsù çóǨZ9$# wÎ) 4n?tã ¤Qöqs% öNä3oY÷t/ NæhuZ÷t/ur ×,»sVÏiB 3
ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×ÅÁt/ (الأنفال:٧٢)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan
berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan
orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang
muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap)
orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban
sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi)
jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka
kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada
perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” [33]
e. Ikatan persaudaraan (al-muakhah)
antara orang-orang muhajirin (pendatang ) dan orang-orang Ansar (penolong) di
Madinah
Ikatan
persaudaraan (Al-Muakhah) antara Muhajirin dan Ansar di hapus dengan
Firman Allah swt:
ÓÉ<¨Z9$# 4n<÷rr& úüÏZÏB÷sßJø9$$Î/ ô`ÏB öNÍkŦàÿRr& (
ÿ¼çmã_ºurør&ur öNåkçJ»yg¨Bé& 3
(#qä9'ré&ur ÏQ%tnöF{$# öNåkÝÕ÷èt/ 4n<÷rr& <Ù÷èt7Î/ Îû É=»tFÅ2 «!$# z`ÏB úüÏZÏB÷sßJø9$# tûïÌÉf»ygßJø9$#ur HwÎ) br& (#þqè=yèøÿs? #n<Î) Nä3ͬ!$uÏ9÷rr& $]ùrã÷è¨B 4
c%2 y7Ï9ºs Îû É=»tGÅ6ø9$# #YqäÜó¡tB (الأحزاب:٦)
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi
orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu
mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih
berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan
orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada
saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam
Kitab (Allah).” [34]
Jadi,
dasar-dasar pewarisan pada zaman jahiliyah dan masa awalawal Islam yang masih
diakui sebagai dasar dalam hukum waris Islam setelah al-Qur’an selesai
diturunkan adalah sistem kekerabatan. Ini menunjukkan bahwa proses legislasi
hukum diturunkan sesuai dengan perkembangan sosial dan kondisi yang menyertainya.[35]
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-3145763305899807"
crossorigin="anonymous"></script>
[1] Ali
Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran:Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir
Tematik, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1995) cet.1, h.23
[2] Muhammad
Ali al-Shabuni, al-Mawarits fi Syariah al-Islamiah, diterjemahkan oleh
Samhuji Yahya dengan judul “Hukum Waris Dalam Islam”,
(Bandung:CV.Diponegoro, 1988), h.26
[3] Ahmad Rofiq,
Fiqh Mawaris, (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 1995), cet. ke-2, h.3
[5] Ahmad
Mustafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghiy, IV (Mesir:Mushthafa al-Bab
al-Halabiy, 1974), h.345
[6] Ahmad
Mustafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghiy, IV, h.361
[7] Ali
Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran:Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir
Tematik, h.29
[8] Q.S.
Al-Baqarah, 2:17
[9] Q.S.
Al-Baqarah, 2:264
[10] Q.S.
Al-A’raf, 7:176
[11] Q.S.
Yusuf, 12:37
[12] Q.S.
Al-Nisa, 4:7, 9, 11, 12, 33, dan 176
[13] Ali
Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an:Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan
Tafsir Tematik, h.30
[14] Amir
Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta:Gunung Agung, 1982), h.53
[15] Husain
Muhammad Makhluf, Al-Mawâris Fi al-Syariah al-Islamiah, (Mesir:Mathbaah al-Madaniy,
1976), h.33-35
[16] Ali
Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran:Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir
Tematik, h. 33
[17] Fatchur
Rahman, Ilmu Waris, (Bandung:PT Al-Maarif,1981), cet.ke-2, h.11
[18] Badri
Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta:Logos, t.t), h.30
[19] Fatchur
Rahman, Ilmu Waris, h.11
[20] Ahmad
Rofiq, Fiqh Mawaris..., h. 5
[21] Fatchur
Rahman, Ilmu Waris, h.12
[22] Fatchur
Rahman, Ilmu Waris, h.13
[23] Ahmad
Rofiq, Fiqh Mawaris..., h. 9
[24] Fatchur
Rahman, Ilmu Waris, h.14
[25] Ahmad
Rofiq, Fiqh Mawaris..., h. 11
[26] Departemen
Agama, Al-Qur’an Bayan, (C.V Bayan Quran:Depok, 2009), Cet. Ke-1, h.78
[27] Departemen
Agama, Al-Qur’an Bayan, ....., h.83
[28] Departemen
Agama, Al-Qur’an Bayan, ....., h.186
[29] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris..., h. 12
[30] Departemen
Agama, Al-Qur’an Bayan,....., h. 418
[31] Ahmad
Rofiq, Fiqh Mawaris..., h.13
[32] T. M Hasbi Ash- Shiddieqy. Fiqhul Mawaris…, h.
16
[33]
Departemen Agama, Al-Qur’an Bayan,......,h. 186
[34] Departemen
Agama, Al-Qur’an Bayan,...., h. 418
[35] Ahmad
Rofiq, Fiqh Mawaris..., h.16
0 komentar:
Posting Komentar