Rabu, 31 Agustus 2016

SEJARAH KEWARISAN DALAM ISLAM

SEJARAH KEWARISAN DALAM ISLAM
  1. Pengertian Kewarisan
Ungkapan yang dipergunakan oleh al-Quran untuk menunjukan adanya kewarisan dapat dilihat pada tiga jenis, yakni al-Irts, al-Faraid, dan al-Tirkah.
a.       Al-Irts
Al-Irts  adalah bentuk mashdar dari kata waritsa, yaritsu, irtsan. Bentuk mashdar-nya bukan saja kata irtsan, melainkan termasuk juga kata waritsan, turatsan, dan wiratsatan. Kata-kata itu berasal dari kata asli waritsa, yang berakar kata dari huruf-huruf waw, ra, dan tsa  yang bermakna dasar perpindahan harta milik, atau perpindahan harta.[1]
Berangkat dari makna dasar ini, maka dari segi makna yang lebih luas, kata al-irts mengandung arti perpindahan sesuatu dari seseorang kepada seseorang, atau perpindahan dari satu kaum kepada kaum lainya, baik berupa harta, ilmu, atau kemuliaan.[2]
Tetapi dalam kontek ilmu mawaris, al-Irts mempunyai makna harta warisan yang siap dibagi oleh ahli waris sesudah diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah (tajhiz al-janazah), pelunasan utang, serta pelaksanaan wasiat.[3]
b.      Al- Farâid
Kata farâid (فرائض) adalah bentuk jama’ dari farîdah  (فريضة) yang bermakna mafrûdah  (مفروضة)yaitu sesuatu yang diwajibkan. Artinya جُزْءٌ مُقَدَّرٌ مِنَ السِّهَامِ saham-saham yang telah ditentukan kadarnya[4]. Dengan demikian penyebutan Farâid didasarkan pada bagian yang diterima oleh ahli waris.
Berdasarkan saham-saham yang sudah menjadi hukum pasti itu, ternyata kontek kata yang merujuk pada kepastiannya terdiri dari dua kata. Pertama, dalam surat al-Nisâ ayat 7, kontek katanya berbunyi mafrûda. Menurut al-Maraghiy, hal itu mengandung makna bahwa saham yang telah ditetapkan kadarnya itu, para ahli waris harus mengambilnya sedikit atau banyak menurut saham yang telah ditetapkan Allah.[5] Kedua, dalam surat al-Nisâ ayat 11, kontek katanya berbunyi faridatan. Kata al-Maraghiy, kata itu mengandung maksud bahwa saham-saham yang disebutkan itu disertai siapa-siapa ahli waris yang akan memperoleh saham itu. Dan ini merupakan ketetapan yang harus diimplementasikan.[6]
Dari dua konteks kata yang berbeda itu, maka dapat dinyatakan bahwa surat al-Nisâ ayat 4 bersifat umum karena baik saham-saham maupun jumlah ahli waris belum disebutkan satu persatu. Adapun surat al-Nisâ ayat 11 bersifat khusus karena baik saham maupun jumlah ahli waris telah disebutkan secara terperinci.[7]
c.       Al-Tirkah
Al-Tirkah dalam bahasa Arab adalah bentuk masdar dari kata tunggal taraka. Dan tercatat 28 kali dalam al-Quran dalam berbagai kontek kata yaitu taraka 24 ayat, tatruku 1 ayat, dan tariku 3 ayat. Sehingga mengandung berbagai makna dasar, yakni membiarkan[8], menjadi[9], mengeluarkan lidah[10], meninggalkan agama[11], dan harta peninggalan.[12] Namun dalam pembahasan ini dibatasi pada makna harta peninggalan, yang tercantum pada surat al-Nisa, 4:7, 11, 12, 23, dan 176.[13]
Keseluruhan kata taraka yang terdapat dalam surat al-Nisâ adalah berbentuk madi, rahasianya karena yang meninggal adalah seorang pewaris. Untuk itu Abu Zahra mengatakan bahwa huruf ma pada kata mimma taraka atau ma taraka yang terdapat dalam ayat tersebut mengandung makna semua yang ditinggalkan oleh pewaris berupa harta menjadi milik ahli waris, baik sedikit maupun banyak.[14]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tirkah adalah segala sesuatu yang ditingalkan ahli waris, baik berupa harta maupun hak. Dan tirkah itu bisa dibagikan kepada ahli warisnya setelah dikurangi biaya penguburan, pelunasan utang, dan wasiat pewaris.
Dari uraian diatas, dapat dikemukakan bahwa konsep kewarisan yang terdiri atas al-Irts, al-Farâid, dan al-Tirkah mempunyai unsur yang berbeda. Istilah al-Irts mengacu kepada sebab terjadinya kewarisan dengan unsur utamanya adalah perkawinan, hubungan nasab, dan hubungan wala.[15] Istilah al-Farâid mengacu kepada format saham yang akan diterima oleh ahli waris, yakni 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8, dan 2/3. Adapun istilah al-Tirkah mengacu kepada kewajiban pewaris yang harus dipenuhi oleh ahli warisnya sebelum harta pusakanya dibagi habis oleh ahli warisnya, berupa biaya jenazah, pelunasan utang, dan pemenuhan wasiat.[16]

  1. Sejarah Kewarisan Islam
Orang-orang Arab Jahiliyah adalah tergolong salah satu bangsa yang gemar mengembara dan berperang. Kehidupan mereka sedikit banyak tergantung pada hasil jarahan dan rampasan perang, di samping ada yang tergantung dari hasil memperniagakan rempah-rempah.[17] Mereka juga saling bersaing antar qabilah dan membanggakan qabilah masing-masing, sehingga tak jarang berakhir dengan peperangan antar qabilah.[18]
Dalam bidang muamalah dan pembagian harta pusaka mereka berpegang teguh pada tradisi-tradisi yang telah diwariskan pada mereka. Dalam tradisi pembagian harta pusaka yang diwarisi dari leluhur mereka terdapat satu ketentuan utama bahwa anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan dilarang mepusakai harta peninggalan, bahkan janda perempuan dari si mayit dijadikan harta yang bisa diwariskan.[19]
Menurut mereka ahli waris yang berhak menerima warisan dari keluarganya yang meninggal adalah mereka yang laki-laki, berfisik kuat, dan dapat memanggul senjata untuk mengalahkan musuh dalam setiap peperangan. Kepentingan suku (qabilah) menjadi sangat diutamakan, karena demi sukunya itulah martabat dirinya dipertaruhkan. Sehingga hukum kewarisan yang terjadi ketika itu, anak-anak baik laki-laki maupun perempuan tidak berhak mewarisi harta peninggalan keluarganya. Demikian juga perempuan mendapat perlakuan diskriminatif. Bagi mereka, perempuan tidak ubahnya bagaikan barang , bisa diwariskan dan di perjualbelikan.[20]
Adapun sebab-sebab pewarisan pada zaman sebelum Islam adalah sebagai berikut:[21]
a.       Adanya Pertalian Kerabat (qarabah)
Para ahli waris dari golongsn kerabat semuanya terdiri dari kaum laki-laki. Mereka itu adalah :
1)      Anak laki-laki
2)      Saudara laki-laki
3)      Paman
4)      Anak laki-laki paman
Pertalian kerabat saja belumlah cukup kiranya dijadikan alasan untuk menuntut hak pusaka, selagi belum dilengkapi dengan adanya kekuatan jasmani yang cukup untuk membela, melindungi, dan memelihara qabilah atau sekurang-kurangnya keluarga mereka. Persyaratan ini mempunyai motivasi untuk menyisihkan anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan.[22]
b.      Adanya Janji Prasetia (muhalafah)
Janji prasetya dijadikan dasar pewarisan karena melalui perjanjian ini sendi-sendi kekuatan dan martabat suku dapat dipertahankan.[23] Hal ini akan terjadi dan mempunyai kekuatan hukum bila salah seorang pihak telah mengikrarkan janji prasetyanya kepada pihak lain, dengan ucapan (sumpah) seperti :
Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, perjuanganku perjuanganmu, perangku perangmu, damaiku damaimu, kau mempusakai hartaku akupun mempusakai hartamu, ...[24]
c.       Adanya Pengangkatan anak (tabanny)
Dalam tradisi Jahiliyah, pengangkatan anak merupakan perbuatan hukum yang lazim. Status anak angkat disamakan dengan kedudukannya dengan anak kandung, sehingga saling waris mewarisi, dan hubungan keluarganya terputus sehingga tidak bisa mewarisi harta peninggalan ayah kandungnya.[25]
Pada masa awal-awal Islam, hukum kewarisan belum mengalami perubahan yang berarti. Bahkan di dalamnya terdapat penambahan-penambahan yang lebih berkonotasi strategis untuk kepentingan dakwah. Tujuannya adalah merangsang ikatan persaudaraan demi perjuangan dan keberhasilan misi Islam.
Dasar-dasar pewarisan yang digunakan pada masa awal Islam adalah:
a.       Pertalian kerabat
Ketentuan pertalian kerabat zaman Jahiliyah yang terbatas pada anak laki-laki dewasa dan mendiskriminasikan anak-anak dan perempuan, dihapus dengan firman Allah swt,
ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uŽèYx. 4 $Y7ŠÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B (النساء : ٧)
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.[26]

b.      Janji prasetia
Yang dimaksud janji prsetia ialah mereka yang saling bersumpah setia. Adapun ketentuan tentang janji prasetia berdasarkan firman Allah surat al-Nisâ ayat 33, yang berbunyi :
9e@à6Ï9ur $oYù=yèy_ uÍ<ºuqtB $£JÏB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur 4 tûïÏ%©!$#ur ôNys)tã öNà6ãZ»yJ÷ƒr& öNèdqè?$t«sù öNåkz:ÅÁtR 4 ¨bÎ) ©!$# tb%Ÿ2 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« #´Îgx© (النساء :٣٣)
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.[27]

telah dinasakh dengan surat al-Anfâl ayat 75, yang berbunyi :
tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä -ÆÏB ß÷èt/ (#rãy_$ydur (#rßyg»y_ur öNä3yètB y7Í´¯»s9'ré'sù óOä3ZÏB 4 (#qä9'ré&ur ÏQ%tnöF{$# öNåkÝÕ÷èt/ 4n<÷rr& <Ù÷èt7Î/ Îû É=»tFÏ. «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« 7LìÎ=tæ  (الأنفال:٧٥)
“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. [28]

c.       Pengangkatan anak
Dalam perkembangannya, masalah pengangkatan anak tidak lagi berjalan, karena Islam menghapuskannya. Terkecuali apabila yang diinginkan mengangkat anak hanya bermotivasi sosial atau semacam orang tua asuh, justru sangat dianjurkan.[29] Penghapusan pengangkatan anak sebagai dasar pewarisan, ditegaskan dalam Firman Allah swt:
$¨B Ÿ@yèy_ ª!$# 9@ã_tÏ9 `ÏiB Éú÷üt7ù=s% Îû ¾ÏmÏùöqy_ 4 $tBur Ÿ@yèy_ ãNä3y_ºurør& Ï«¯»©9$# tbrãÎg»sàè? £`åk÷]ÏB ö/ä3ÏG»yg¨Bé& 4 $tBur Ÿ@yèy_ öNä.uä!$uŠÏã÷Šr& öNä.uä!$oYö/r& 4 öNä3Ï9ºsŒ Nä3ä9öqs% öNä3Ïdºuqøùr'Î/ ( ª!$#ur ãAqà)tƒ ¨,ysø9$# uqèdur Ïôgtƒ Ÿ@Î6¡¡9$# ۚ öNèdqãã÷Š$# öNÎgͬ!$t/Ky uqèd äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# 4 bÎ*sù öN©9 (#þqßJn=÷ès? öNèduä!$t/#uä öNà6çRºuq÷zÎ*sù Îû ÈûïÏe$!$# öNä3Ï9ºuqtBur 4 }§øŠs9ur öNà6øn=tæ Óy$uZã_ !$yJÏù Oè?ù'sÜ÷zr& ¾ÏmÎ/ `Å3»s9ur $¨B ôNy£Jyès? öNä3ç/qè=è% 4 tb%Ÿ2ur ª!$# #Yqàÿxî $¸JŠÏm§ (الأحزاب:٥-٤ )
 “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang .   [30]

d.      Hijrah (dari Mekah ke Madinah)
Ajakan hijrah Rasulullah saw kepada orang-orang Mekah agaknya kurang mendapat sambutan positif dari warga Mekah, sehingga beliau perlu memberi rangsangan bahwa keluarga yang ikut hijrahlah yang nantinya berhak mewarisi, apabila saudaranya meninggal dunia.[31]
Ketika Rasulullah menerima perintah Allah swt agar meninggalkan kota Mekah, beliau bersama sahabat-sahabat beliau menuju Madinah. Disini beliau berserta rombongan mendapat sambutan yang sangat baik, mendapat tempat tinggal, kebutuhan sehari-hari serta perlindungan dari musuh-musuh.
Rasulullah saw mengangkat tali persaudaraan antara golongan muhajirin dengan orang anshar. Maka seseorang muhajirin apabila meninggal dengan tidak mempunyai seorang wali yang muhajirin maka harta peninggalannya, diwarisi oleh saudaranya yang Anshar itu.[32] 
Kebijaksanaan Rasul tersebut mendapat pengesahan dari Allah swt melalui Firman-Nya:
¨bÎ) z`ƒÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#rãy_$ydur (#rßyg»y_ur óOÎgÏ9ºuqøBr'Î/ öNÍkŦàÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# tûïÏ%©!$#ur (#rur#uä (#ÿrçŽ|ÇtR¨r y7Í´¯»s9'ré& öNåkÝÕ÷èt/ âä!$uÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä öNs9ur (#rãÅ_$pkç $tB /ä3s9 `ÏiB NÍkÉJu»s9ur `ÏiB >äóÓx« 4Ó®Lym (#rãÅ_$pkç 4 ÈbÎ)ur öNä.rçŽ|ÇZoKó$# Îû ÈûïÏd9$# ãNà6øn=yèsù çŽóǨZ9$# žwÎ) 4n?tã ¤Qöqs% öNä3oY÷t/ NæhuZ÷t/ur ×,»sVŠÏiB 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎ÅÁt/   (الأنفال:٧٢)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”  [33]

e.       Ikatan persaudaraan (al-muakhah) antara orang-orang muhajirin (pendatang ) dan orang-orang Ansar (penolong) di Madinah
Ikatan persaudaraan (Al-Muakhah) antara Muhajirin dan Ansar di hapus dengan Firman Allah swt:
ÓÉ<¨Z9$# 4n<÷rr& šúüÏZÏB÷sßJø9$$Î/ ô`ÏB öNÍkŦàÿRr& ( ÿ¼çmã_ºurør&ur öNåkçJ»yg¨Bé& 3 (#qä9'ré&ur ÏQ%tnöF{$# öNåkÝÕ÷èt/ 4n<÷rr& <Ù÷èt7Î/ Îû É=»tFÅ2 «!$# z`ÏB šúüÏZÏB÷sßJø9$# tûï̍Éf»ygßJø9$#ur HwÎ) br& (#þqè=yèøÿs? #n<Î) Nä3ͬ!$uŠÏ9÷rr& $]ùrã÷è¨B 4 šc%Ÿ2 y7Ï9ºsŒ Îû É=»tGÅ6ø9$# #YqäÜó¡tB  (الأحزاب:٦)
 “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).” [34]

Jadi, dasar-dasar pewarisan pada zaman jahiliyah dan masa awalawal Islam yang masih diakui sebagai dasar dalam hukum waris Islam setelah al-Qur’an selesai diturunkan adalah sistem kekerabatan. Ini menunjukkan bahwa proses legislasi hukum diturunkan sesuai dengan perkembangan sosial dan kondisi yang menyertainya.[35]

<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-3145763305899807"
     crossorigin="anonymous"></script>



[1] Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran:Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1995) cet.1, h.23
[2] Muhammad Ali al-Shabuni, al-Mawarits fi Syariah al-Islamiah, diterjemahkan oleh Samhuji Yahya dengan judul “Hukum Waris Dalam Islam”, (Bandung:CV.Diponegoro, 1988), h.26
[3] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 1995), cet. ke-2, h.3
[4] Budi Ali Hidayat, Memahami Dasar-dasar Ilmu Faraid, (Bandung:Angkasa,2009) Cet.ke-1, h.9
[5] Ahmad Mustafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghiy, IV (Mesir:Mushthafa al-Bab al-Halabiy, 1974), h.345
[6] Ahmad Mustafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghiy, IV, h.361
[7] Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran:Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik, h.29
[8] Q.S. Al-Baqarah, 2:17
[9] Q.S. Al-Baqarah, 2:264
[10] Q.S. Al-A’raf, 7:176
[11] Q.S. Yusuf, 12:37
[12] Q.S. Al-Nisa, 4:7, 9, 11, 12, 33, dan 176
[13] Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an:Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik, h.30
[14] Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta:Gunung Agung, 1982), h.53
[15] Husain Muhammad Makhluf, Al-Mawâris Fi al-Syariah al-Islamiah, (Mesir:Mathbaah al-Madaniy, 1976), h.33-35
[16] Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran:Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik, h. 33
[17] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung:PT Al-Maarif,1981), cet.ke-2, h.11
[18] Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta:Logos, t.t), h.30
[19] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h.11
[20] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris..., h. 5
[21] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h.12
[22] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h.13
[23] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris..., h. 9
[24] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h.14
[25] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris..., h. 11
[26] Departemen Agama, Al-Qur’an Bayan, (C.V Bayan Quran:Depok, 2009), Cet. Ke-1, h.78
[27] Departemen Agama, Al-Qur’an Bayan, ....., h.83
[28] Departemen Agama, Al-Qur’an Bayan, ....., h.186
[29]  Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris..., h. 12
[30] Departemen Agama, Al-Qur’an Bayan,....., h. 418
[31] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris..., h.13
[32] T. M Hasbi Ash- Shiddieqy. Fiqhul Mawaris…, h. 16
[33] Departemen Agama, Al-Qur’an Bayan,......,h. 186
[34] Departemen Agama, Al-Qur’an Bayan,...., h. 418
[35] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris..., h.16
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © MAHSUN DOT NET