A.
Pengertian Keteladanan
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia disebutkan, bahwa “keteladanan” dasar katanya “teladan”
yaitu Perbuatan dan sikap yang patut ditiru atau dicontoh[1]. Oleh karena itu “Keteladanan” adalah hal-hal yang dapat
ditiru atau dicontoh. Dalam Bahasa Arab “Keteladanan” diungkapkan dengan kata
“Uswah” dan “Qudwah”[2].
‘Al-Uswah”
sebagaimana kata “Al-Qudwah” berarti
suatu keadaan ketika seorang manusia mengikuti manusia lain, apakah dalam
kebaikan, kejelekan, kejahatan, atau kemurtadan. Sebagaimana yang dikutip oleh
Armai Arif, Ibnu Zakaria mensinonimkan “Uswah” dengan ”Qudwah” yang artinya
ikutan, mengikuti yang diikuti. Dengan demikian keteladanan adalah hal-hal yang
dapat ditiru atau dicontoh oleh seseorang dari orang lain. Namun keteladanan
yang dimaksud di sini adalah keteladanan yang dapat dijadikan alat pendidikan
Islam yaitu keteladanan yang baik[3].
Kata ”Uswah”
di dalam Al-Qur’an diulang sebanyak enam kali dengan mengambil sampel pada diri
para Nabi yaitu Nabi Muhammad SAW., Nabi Ibrahim, dan kaum yang beriman teguh
kepada Allah Swt. Metode keteladanan dianggap penting karena aspek agama yang
terpenting adalah akhlak yang termasuk dalam kawasan efektif yang terwujud
dalam bentuk tingkah laku[4].
Hery Noer Aly
memberikan definisi “Pendidikan dengan teladan berarti pendidikan dengan
memberi contoh, baik hanya tingkah laku, sifat, cara berfikir, dan sebagainya.
Banyak ahli pendidikan yang berpendapat bahwa pendidikan dengan teladan
merupakan metode yang paling berhasil guna”[5].
Keteladanan
merupakan sarana pendidikan yang paling penting. Hal ini terjadi karena secara
naluriah dalam diri anak ada potensi untuk meniru hal-hal yang ada di
sekitarnya[6].
Jadi,
keteladanan adalah hal-hal yang dapat ditiru atau dicontoh oleh seseorang dari orang lain, baik dalam bentuk
perbuatan ataupun ucapan, kemudian dipraktekannya sesuai dengan apa yang
dilihat. Oleh karena itu, keteladanan yang harus diterapkan adalah keteladanan
yang baik.
B. Orang Tua
sebagai Pendidik yang Pertama dan Utama
Keluarga
memiliki peranan penting dalam pendidikan, keluarga merupakan tempat
pertumbuhan anak yang pertama di mana ia mendapatkan pengaruh dari anggota
keluarga, masa yang amat penting dalam pendidikan anak, yatu tahun-tahun
pertama dalam kehidupan pra sekolah. Keluarga juga mempunyai peranan besar
dalam pembangunan masyarakat, karena keluarga merupakan batu pondasi bangunan
masyarakat yang mana orang tua merupakan aktor yang sangat berpengaruh terhadap
pendidikan anak.
Orang tua
merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari
merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama
dari pendidikan terdapat dalam keluarga. Sebagai mana Syaikh Abu Hamid
Al-Ghazali menjelaskan Bahwa “anak kecil merupakan amanat bagi orang tuanya.
Hatinya masih suci merupakan permata alami yang bersih dari pahatan dan
bentukan, dia siap diberi pahatan apapun yang condong kepada apa saja yang
disodorkan kepadanya, jika dibiasakan dan diajarkan kebaikan dia akan tumbuh
dalam kebaikan, dan berbahagialah kedua orang tuanya di dunia dan di akhirat,
juga setiap pendidik dan gurunya. Namun bila dibiasakan kejelekan dan dibiarkan
sebagaimana binatang ternak, niscaya akan menjadi jahat dan binasa. Dosanya pun
akan ditanggung oleh pengurus dan walinya. Maka hendaklah orang tua memelihara,
mendidik dan membina serta mengajarinya akhlak yang baik, menjaganya dari
teman-teman jahat, tidak membiasakan bersenang-senang dan tidak pula
menjadikannya suka keoada kemewahan, sehingga akan menghabiskan umurnya untuk
mencari hal tersebut bila dewasa”[7].
Pada umumnya
pendidikan dalam rumah tangga itu bukan berpangkal tolak dari kesadaran dan
pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati
suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi
pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan dan
hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak[8].
Pendidikan
anak hendaknya tidak didasarkan atas tekanan atau sejumlah bentuk kekerasan dan
paksaan, karena pola pendidikan seperti itu hanya akan membawa kepada
pertentangan antara orang tua dengan anak-anak. Jika anak merasa disayangi dan
diterima sebagai teman dalam proses pendidikan dan pengembangan mereka, maka
anak akan merasa bahwa mereka adalah bagian dari keluarga.
Orang tua adalah orang-orang yang sudah
dewasa, sebagai orang-orang yang telah dewasa, maka orang tua harus bertanggung
jawab terhadap segala perbuatannya. Orang tua tidak hanya bbertanggung jawab
pemeliharaan anak saja, melainkan orang tua juga bertangung jawab pada
pendidikan anak-anaknya[9].
Rosulullah Saw
Bersabda :
عن الاسود ابن شريح ابو يعلى ان النبى . ص.م. قال : كل مو لود يولد على الفطرة حتى يعرب عنه لسانه فابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه)رواه ابو داود و الطبرنى و بيهقى(
“Dari ASwad Ibnu Sari’ Abu Ya’la, Sesungguhnya Nabi
Bersabda: Semua anak dilahirkan atas fitrah sehingga ia jelas berbicara, maka
kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi yahudi, nasrani atau
majusi” (H.R. Abu Daud,
Thabrani dan Baihaqi)[10].
“Orang tua
termasuk pendidik yang terutama atau primer, karena dengan kesadaran yang
menndalam serta didasari rasa cinta dan kasih sayang yang mendalam pula orang
tua mengasuh atau mendidik anaknya dengan penuh tanggung jawab dan kesabaran. Lagi pula sebagian besar anak-anak adalah bersama-sama
orang tuanya. Dengan dasar ini maka pendidik yang lain masuk nomor dua”[11].
Bila keluarga,
jalan sekolah dan masyarakat merupakan sendi-sendi pendidikan yang fundamental,
maka keluarga merupakan pemberi pengaruh pertama. Keluarga lebih kuat daripada
semua sendi-sendi itu. Sebab sejak awak masa kehidupannya, sang anak menerima
pengaruh dari keluarga dan waktu yang dihabiskannya di lingkungan keluarga
lebih banyak daripada tempat-tempat lain. Disamping itu kedua orang tua lebih
banyak berpengaruh terhadap anak.
Esensi peranan
keluarga menjadi jelas selagi kita tahu bahwa dasar-dasr tingkah laku sosial
didirikan di rumah. Tingkah sosial ini tetap ada sepanjang umur manusia dan
menjadi salah satu karakter yang tetap. Pendidikan modern menekankan esensi
pengetahuan dasar dan pengaruhnya bagi anak-anak dalam membedakan
kecenderungan, trend dan corak tingkah lakunya. Apa yang terjadi pada anak-anak
masa kanak-kanak awal ini akan membentuk karakter fundamental di masa mendatang.
Keharmonisan
keluarga dan keserasian antara bapak dan ibu juga berpengaruh besar terhadap
tingkah laku anak, sikap, intelektualitas dan nilai pelajaran sekolahnya.
Sebagian orang ada pula yang dapat dirusak karena pengaruh teman-teman yang
buruk selama masa tertentu. Tapi kemudian mereka dapat menjadi baik kembali.
Latar belakangnya, karena nilai yang sudah ditanamkan keluarga sejak kecil
dapat mengalahkan pengaruh teman-temannya yang buruk dan mengembalikannya
kepada karakter tang membentuknya sejak kecil[12].
Adapun yang
dikatakan dewasa ialah bila anak itu sudah mencapai umur tertentu menurut
ukuran umum disuatu daerah tertentu dan mempunyai kesiapan mental dan rohani.
Rosulullah Saw
Bersabda:
عن ابن عمر قال : قال رسول الله ص.م. مروا اولادكم باالصلاة اذا بلغوا سبعا واضربوهم عليها اذا بلغوا عشرا وفرقوا بينهم في المضاجع ) رواه ابوى داود والحاكم(
”Dari Ibnu Umar berkata Rasulullah Saw. Bersabda :
“Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukulah
mereka jika tidak mau mengerjakan shalat ketika mereka telah berumur sepuluh
tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka. (H.R. Abu Daud dan Hakim)”[13].
Pendidikan
pada dasarnya merupakan tanggung jawab orang tua dan guru. Oleh karena, itu
mutlak perlunya hubungan baik antara guru dan orang tua murid. Tetapi yang
lebih penting, para orang tua harus sadar bahwa tugas memberi pendidikan kepada
anak-anaknya memang tugas utama mereka, tak bisa dilimpahkan begitu saja kepada
pihak sekolah.
Secara umum
dikatakan bahwa melalui pendidikan akan tercapai kepribadian yang sempurna
dalam kehidupan, karena pendidikan itu bagian dari beberapa faktor yang
mempengaruhi pembentukan kepribadian sebagaimana yang dikemukakan oleh Sidi
Gazalga yaitu: ”Kepribadian pada hakekatnya dibentuk oleh pendidikan”[14].
Dengan kata lain bahwa kepribadian itu dapat dibentuk oleh pendidikan, atau
pendidikan memiliki peranan penting dalam membentuk kepribadian.
Keteladanan
dalam pendidikan anak merupakan suatu hal yang sangat diperlukan karena
terbukti ampuh dan paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek
moral, spiritual, dan etos sosial anak. Demikian itu dijelaskan oleh Maulana
Musa Ahmad Olgar bahwa ”Mendidik anak dengan memberikan nasehat yang terlalu
sering dan banyak, sering kali menyebabkan anak menjadi bosan sehingga lambat
laun nasihat yang diberikan kehilangan makna. Cara terbaik agar anak belajar
hal-hal yang orang tua inginkan adalah dengan mengamalkannya terlebih dahulu.
Sehingga mereka akan dengan mudah dan dengan sendirinya meniru apa yang orang tua
kerjakan”[15].
Oleh karena itu, masalah keteladanan menjadi faktor penting dalam menentukan
baik buruknya anak. Jika orang tuanya jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia,
berani dan menjauhkan diri dari perbuatan–perbuatan yang bertentangan dengan
agama, maka si anak akan tumbuh dalam kejujuran terbentuk dengan akhlak mulia
dan menjauhkan diri dari perbuatan–perbuatan yang bertentangan dengan agama.
Begitu pula sebaliknya jika orang tua seorang pembohong, penghianat, orang yang
kikir, penakut dan hina maka si anak akan tumbuh dalam kebohongan, khianat,
durhaka, kikir, penakut dan hina.
Anak adalah
amanah dari Allah Swt. Orang tua sebagai pengembang amanat berkewajiban untuk
memelihara kelangsungan hidup anak,
karena anak sebagai spesies adolescentiae yaitu masih memiliki sifat yang tidak
berdaya, masih menggantung diri pada orang tua tetapi dilain pihak anak sebagai
calon orang dewasa yang di dalamnya terdapat kekuatan, dorongan juga terdapat
naluri untuk mengembangkan diri menuju dewasa.
Dari
penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa orang tua sebagai pendidik pertama dan utama tidak bisa
menghindarkan diri sebagai pemikul utama penanggung jawab pendidik anak.
Lembaga pra sekolah dan sekolah hanya sebagai partner pembantu. Orang tua pula
yang nantinya dapat membentuk kepribadian anak melalui pendidikan dan dengan
teladanlah orang tua secara praktis mendidik anak, yang merupakan cara terbaik
dalam mendidik dan merupakan cara yang paling ampuh (dikatakan berhasil) dalam
dunia pendidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
ü Abdullah Nasikh Ulwan, Penterjemah: Kathur Suhardi, Membentuk
Karakteristik Generasi Muda, (Solo: CV. Pustaka Mantik, 1989), h. 14.
ü Adnan Hasan Shalih Baharits, Tanggung Jawab Ayah
Terhadap Anak Laki-Laki, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996) Cet. I, hal.
54.
ü Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan
Islam, (Jakarta: Ciputat Pres, 2002), Cet. I, h. 117.
ü Departeen Pendidikan dan Kebuyaan, Kamus Besar Bahasa
Indoneia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Edisi: ke-2, Cet. IV, h. 1025.
ü H. Abudin Nata, Filsafat pendidikan Islam, (Jakarta
: Logos Wacana Ilmu, 1997) Cet. I, hal. 95.
ü Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta:
Logos, 1999), Cet. I, h. 178.
ü Imam Abdurahman Jalauddin, AS-Suyuti, Al-Jamlu,
(Beirut: Darul Fikiri, 911 H), Jilid 2, h, 535.
ü Khalid Ahmad Asy-Syantuh, Pendidikan Anak Putri dalam
Keluarga Muslim, (Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 1993), Cet. I h.40, 44-45.
ü Maulana Musa Ahmad Olgar, Tips Mendidik anak bagi
orang tua Muslim, (Yogyakarta: Citra Media, 2006) Cet. I, h. 136.
ü Prof.
H. Mahmud Junus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta, PT. Hidakarya Agung,
1989), Cet. I, h. 42
ü Sayid
Ahnad Al-Hasyimi, Mukhtar Al-Hadist Al-Nabawiyah, (Semarang, PT. MG
Usaha keluarga Semarang) , Cet. XXII, h. 112.
ü Sidi Gazalga, Pendidikan amat Manusia, (yakarta:
PT. Gharata, 1970), h. 25.
ü Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan
Sistematis, (Yogyakarta.: Andi Offset, 1989), Cet. XII, h. 61.
ü Yusuf Muhammad Al Hasan, Pendidikan Anak dalam islam, (Jakarta:
Daruul Haq, 1998), Cet.I, h. 11.
ü Zakiah darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1996), Cet. III, h.36.
[1] Departeen Pendidikan dan Kebuyaan, Kamus
Besar Bahasa Indoneia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Edisi: ke-2, Cet. IV,
h. 1025.
[2]
Prof. H. Mahmud Junus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta, PT. Hidakarya
Agung, 1989), Cet. I, h. 42
[3] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan
Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pres, 2002), Cet. I, h. 117.
[6] Adnan Hasan Shalih Baharits, Tanggung
Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-Laki, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996)
Cet. I, hal. 54.
[7] Yusuf Muhammad Al Hasan, Pendidikan
Anak dalam islam, (Jakarta: Daruul Haq, 1998), Cet.I, h. 11.
[9] Abdullah Nasikh Ulwan, Penterjemah:
Kathur Suhardi, Membentuk Karakteristik Generasi Muda, (Solo: CV.
Pustaka Mantik, 1989), h. 14.
[10]
Sayid Ahnad Al-Hasyimi, Mukhtar Al-Hadist Al-Nabawiyah, (Semarang, PT.
MG Usaha keluarga Semarang) , Cet. XXII, h. 112.
[11] Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu
Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta.: Andi Offset, 1989), Cet. XII, h. 61.
[12] Khalid Ahmad Asy-Syantuh, Pendidikan Anak
Putri dalam Keluarga Muslim, (Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 1993), Cet. I h.40,
44-45.
[13] Imam Abdurahman Jalauddin, AS-Suyuti, Al-Jamlu,
(Beirut: Darul Fikiri, 911 H), Jilid 2, h, 535.
[15] Maulana Musa Ahmad Olgar, Tips
Mendidik anak bagi orang tua Muslim, (Yogyakarta: Citra Media, 2006) Cet. I,
h. 136.
0 komentar:
Posting Komentar