A.
PENDAHULUAN
Sejenak kita
merenung:
“Kala kemewahan materi, keglamoran
hidup, kecerdasan, dan kenikmatan status social tak lagi dapat memuaskan hasrat
duniawi yang tajk berujung, atau tak lagi memberikan ketenangan batin dan
kesejukan kalbu, banyak orang khususnya muslim perkotaan yang berpaling kepada
tasawuf, dimensi esoteris islam. Tak heran jika kemudian pengajian tasawuf yang
diselenggarakan atau dikoordinasi oleh berbagai tarekat yang merupakan bentuk
pelembagaan ajaran tasawuf bak oase di tengah padang tandus, menarik dan
menyedot perhatian para “ pencari” yang sekaligus menyajikan telaga kenikmatan
penghambaan sang khaliq.
Oleh karena itu, di dalam tarekat
menyajikan telaga kenikmatan penghambaan sang khaliq untuk menemukan jati diri
dalam hidup. Dari berbagai tarekat mengajarkan dimensi esitoris islam, salah
satu tarekat yang muktabarah adalah tarekat Syadziliyah yang terkenal dengan
variasi hizbnya.
B.
PEMBAHASAN
a.
Sejarah lahirnya
Secara sederhana penulis
menggambarkan bahwa Tarekat Syadziliyah tak dapat di lepaskan hubungannya
dengan pendirinya, yakni Ali bin Abdullah bin Abd. Al-Jabbar Abu al-Hassan al-Syadziliy.[1] Dia dilahirkan di desa Ghumara, dekat
Ceuta saat ini, di utara maroko pada tahun 573 H. Pada saat dinasti
al-muwahhidin mencapai titik nadinya, adapun mengenai tahun kelahiran
al-sadzili, sebenarnya belum ada kesepakatan. Beberapa penulis berbeda
pendapat, antara lain sebagai berikut: Siradj al-Din Abu Hafshah menyebut tahun
kelahirannya pada 591 H/ 1069 M, Ibn Sabbagh menyebut tahun kelahirannya pada
583 H/1187 M. Dan J, Spencer Trimingham mencatat tahun kelahirannya al-Syadzili
pada 593 H/1196 M.[2]
Pendidikannya di mulai dari
kedua orang tuanya, dan kemudian di lanjutkan kependidikan lebih lanjut, yang
mana diantara guru kerohaniannya adalah ulam besar Abd. Al-salam Ibn Masyiy
(w.628 H/1228 M), yang juga di kenal sebagai “Qutbh dari Qutbh para wali”, seperti halnya Syaikh Abd. Al-Qadir
al-Jillani (w.561 H/1166 M).
As-syadzili mempunyai dua guru
spritual yaitu Abu Abdillah M. Ibn Kharazim (w. 633 H/ 1236 M) dan Abd.
Al-salam ibn Masiyiy. Adapum kitab-kitab tasawuf yang pernah dikaji oleh
as-syadziliy di kemudian hari ia ajarkan kepada muri-muridnya, antara lain: Ihya ‘Ulumuddin karya Abu Hamid
Al-Gazhali, Qut al-qulub karya Abu
Tahlib al-Makki, Khtam Al-Auliya
karya al-hakim al-trimidzi, al-mawaffiq
wa al-mukhattabah karya Muhammad abd al-Jabbar, an-nafri, al-syifa karya Qadhli Iyadah, al-Risalah karya al-Qusyairi, dan al-muharrar al-wajiz karya Ibn At’iah.
As-sadzili di pandang sebagai
seorang wali yang keramat. Diantara ceritanya bahwa pada suatu mimpi pernah
bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Yang berkata kepadanya, “Hai Ali! Pergilah
engkau masuk kenegeri Mesir disana engkau akan mendidik empat puluh orang Shiddiqin. “ oleh karena hari sangat
panas, Al-Syadzili konon mengeluh dengan berkata, “ Ya Rasulullah! Hari sangat
panas dan terik,” Nabi berkata, “ ada awan yang akan memayungi kamu! “ aku
berkata pula, “aku takun akan kehausan.” Nabi menjawab, “langit kan menurunkan
hujan untuk mu setiap hari.” Kemudian menjanjikanku dalam perjalanan dalam
tujuh puluh keramat.[3]
Dalam bidang fiqih al-syadzili
mengikuti mazhab maliki. Mazhab ini sangat dominan di daerah Maghrib (spanyol,
Maroko, dan Tunisia). Al-sadzili juga di samping sebagai menjadi ulama, sufi
dan “kutub agung” dalam tarekatnya, ia juga menjadi pejuang dan pembela tanah
airnya. Salah satu diantara perjuangannya adalah keikutsertakaanya dalam
membela tanah airnya ketika terdapat kejumudan dalam berfikir masyarakat pada
waktu itu.[4]
b.
Perkembangan dan
aliran-aliran/cabang-cabangnya
Sementara itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan
Hijriyah, Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang pensyarah kitab al-Hikam
memberikan kesimpulan dari ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan dan tindakan
kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan
berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan
diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam akan-Nya, dan
memohon kepada-Nya agar memberi syukur kepada kita."
Mengenai dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam
tareqat, secara umum pada pola dzikir tareqat ini biasanya bermula dengan
Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam
dua baris yang saling berhadapan, dan syekh di pusat lingkaran atau diujung
barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini,
kebijakjsanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari
dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan
memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai
maupun terhadap orang-orang disekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma
Allah diberikan oleh Ibn Atha'ilah berikut: "Asma al-Latif," Yang
Halus harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang
berusaha mempertahankan keadaan spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai
membuat sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus
menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin
berkobar; dan Asma al-Faiq, "Yang Mengalahkan" sebaiknya jangan
dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai
tingkatan yang tinggi.
Tareqat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam.
Sekarang tareqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania
Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di
Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran
tareqat ini, tareqat ini mempunyai beberapa cabang, yakitu: al-Qasimiyyah, al-
madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah, al-Qauqajiyyah,
al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah,
al-Faisiyyah dan al- Hasyimiyyah.
c.
Pandangan hidup pendiri Tarekat Syadziliyah
Dalam berbagai literature, Ibn
Athaillah mengemukakan bahwa al-syadzili adalah orang yang ditetapkan Allah
SWT. Sebagai pewaris Nabi Muhammad SAW, Allah telah menegaskan peranan
al-syadzili melalui karamah-karamahnya yang selanjutnya akan menunjukan
posisinya sebagai poros spiritual (Qutbh)
alam semesta.[5]
Adapun pemikiran-pemikiran Tarekat
Sadziliyah tersebut adalah:
2. Tidak mengbaikan dalam
menjalankan syari’at islam.
3. Zuhud tidak berarti
harus menjauhi dunia karena pada dasarnya Zuhud
adalah mengosongkan hati dari selain Tuhan.
4. Tidak ada larangan bagi
kaum salik untuk jadi milieuner yang
kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya.
5. Berusaha merespons apa
yang sedang mengancam kehidupan ummat, berusaha menjembatani antara kekeringan
spiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan
duniawi, dengan sikap yang pasif yang banyak dialami para Salik.
6. Tasawuf adalah
latihan-latihan jiwa dalam rangka Ibadah menempatkan diri sesuai dengan
ketentuan Allah SWT.
7. Dalam kaitannya dengan al-Ma’rifat (gnosis), al-syadizli
berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan ahli tarekat atau tasawuf.[7]
Dari berbagai pandangan-pandangan diatas, terdapat juga
kata-kata hikmah dari pendiri tarekat as-sadziliyah, diantara ucapan-ucapanya
adalah:
“Pengelihatan akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan
takkan meninggalkan aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga
aku memohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia.
Kemudian sebuah suara memanggilku, katanya" Jika kau memohon kepada-Nya
yang tahu bagaimana memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai
antara kau dan Dia. Namun memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya."Maka
akupun memohon kekuatan dari Dia pun membuatku kuat, segala puji bagi Tuhan!
Aku pesan oleh guruku (Abdus Salam ibn Masyisy ra):
"Jangan anda melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat
mendatangkn keridhoan Allah, dan jangan duduk dimajelis kecuali yang aman dari
murka Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat
kepada Allah. Jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah
keyakinanmu terhadap Allah."Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah
selama ia masih ada syahwat atau usaha ihtiar sendiri.Janganlah yang menjadi
tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat kebutuhanmu. Dengan
demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan dari doamu
adalah untuk bermunajat kepada Allah yang memeliharamu dari-Nya.
Seorang arif adalah orang yang megetahui rahasia-rahasia
karunia Allah di dalam berbagai macam bala' yang menimpanya sehari-hari, dan
mengakui kesalahan-kesalahannya didalam lingkungan belas kasih Allah
kepadanya.Sedikit amal dengan mengakui karunia Allah, lebih baik dari banyak
amal dengan terus merasa kurang beramal. “Andaikan Allah membuka nur (cahaya)
seorang mu'min yang berbuat dosa, niscaya ini akan memenuhi antara langit dan
bumi, maka bagaimanakah kiranya menjelaskan : "Andaikan Allah membuka
hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia akan disembah, sebab ia telah
mengenangkan sifat-sifat Allah SWT. _________________ BERTUHANKAN ALLAH,
BERSYARIATKAN SYARIAT MUHAMMAD SAW.[8]
d.
Demografik Pengikut Tarekat Syadziliyah
Tareqat Syadziliyah terutama menarik dikalangan kelas
menengah, pengusaha, pejabat, dan pengawai negeri. Mungkin karena kekhasan yang
tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan
seperti yang terdapat dalam tareqat-tareqat yang lainnya. Setiap anggota
tareqat ini wajib mewujudkan semangat tareqat didalam kehidupan dan
lingkungannya sendiri, dan mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung
kemiskinan. Oleh karenanya, ciri khas yang kemudian menonjol dari anggota
tareqat ini adalah kerapian mereka dalam berpakaian. Kekhasan lainnya yang
menonjol dari tareqat ini adalah "ketenagan" yang terpancar dari
tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya: asy-Syadzili, Ibn Atha'illah, Abbad. A
Schimmel menyebutkan bahwa hal ini dapat dimengerti bila dilihat dari sumber
yang diacu oleh para anggota tareqat ini. Kitab ar-Ri'ayah karya al-Muhasibi.
Kitab ini berisi tentang telaah psikologis mendalam mengenai Islam di masa
awal. Acuan lainnya adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya Ulumuddin karya
al-Ghozali. Ciri "ketenangan" ini tentu sja tidak menarik bagi
kalangan muda dan kaum penyair yang membutuhkan cara-cara yang lebih menggugah
untuk berjalan di atas Jalan Yang Benar.[9]
Disamping Ar-Risalahnya Abul Qasim Al-Qusyairy serta
Khatamul Auliya'nya, Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para
pengikut tareqat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti
ditakdirkan menjadi anggota tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka
percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini.
Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, Martin
menyebutkan bahwa pengamalan tareqat ini di Indonesia dalam banyak kasus lebih
bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang, kalau memang pernah,
bertemu dengan yang lain. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya
membaca secara individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan
diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tareqat ini
mempelajari berbagai hizib, paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin)
yang diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan
tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan
dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tareqat.
e.
Silsilah
sanad
1. As-Syaikh As-Sayyid Abil
Hasan Asy-Syadzili ra
2. As-Syaikh Abdus Salam bin
Mashish ra
3. As-Syaikh Muhammad bin
Harazim ra
4. As-Syaikh Muhammad Salih
ra
5. As-Syaikh Shuhaib Abu
Madyan ra
6. As-Syaikh As-Sayyid Abdul
Qadir Al-Jailani ra
7. As-Syaikh Abu Said
Al-Mubarak ra
8. As-Syaikh Abul Hasan
Al-Hukkari ra
9. As-Syaikh At-Tartusi ra
10. As-Syaikh Asy-Shibli ra
11. As-Syaikh Sari As-Saqati
ra
12. As-Syaikh Ma’ruf
Al-Kharkhi ra
13. As-Syaikh Daud At-Tai ra
14. As-Syaikh Habib Al-Ajami
ra
15. Imam Hasan Al-Basri ra
16. Sayyidina Ali bin Abu
Thalib ra
f.
Ajaran Hizib (doa dan zikir) Tarekat Syadziliyah
Adapun Hizib- Hizib tersebut antara
lain adalah:
1. Hizib al-syfa’
Hizib al-syfa’ adalah Hizib
yang khas dari tarekat asdziliyah. Adapun cara mengamalkan adalah apabila
disertai puasa maka Hizib al-syfa’ di
baca setiap salat fardhu dan puasa dilaksanakan selama tiga hari, tujuh hari,
sepuluh hari, atau empat puluh hari. Caranya pertama-tama membaca surat
al-fatihah yang di tunjukan kepada Allah
SWT, Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Abu Bakar al-Shidiq, Sayyidina Umar Ibn
al-Khathab, Sayyidina Usman bin affan, Sayyidina Ali bin Abi Thalib,
Syaikh Abd al-Qadir al-jilani, Mbah
Panjalu, Sunan Kalijaga, Syaikh Ibn Ulwan, Wali Sembilan di Indonesia, Sulthan
Agung, Syaikh Abd al-Qadir al-kediri, Syaikh Mustaqim bin Syaikh Abdul
al-jilaini bin Mustaqim, kedua orang tua dan Nabi Khidir a.s
2. Hizib al-Mubarak
Sebelum membaca Hizib al-Mubarak
ini terlebih dahulu membaca aurah al-fatihah seperti biasanya dan ditambah
kepada sayyidin hamzah.
3. Hizib al-Hujb
4. Hizib al-Salamah
Sebelumnya di dahului pembacaan
surah al-fatihah yang ditunjukan kepada Adam, Ibu Hawa, semua Nabi dan Rasul,
Syuhada, Salihin auliya al-arifin, ulama amilin, malaikat al-muqarrabin, kaum
mukminin dan mukminat, muslimin dan muslimat.[11]
5. Hizib Bahr
Para ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang
sederhana, ia secara kebaktian tidak begitu mendalam; ia lebih merupakan
mantera megis yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A'zhim) dan, apabila
dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkan dan menjamin respon supra
natural. Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dana doa, para syekh tareqat
biasnya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid
dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan
tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa
wewenang, sebab murid tersebut sedang mengikuti suaru pelatihan dari sang guru.Yang
menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru kandungan makna hakiki dari
Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf
atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa belaka, melainkan juga
mengandung doktrin sufistik yang sangat dahsyat.
C.
PENUTUP
Dari pelbagai uraian di atas secara
sederhana penulis menyimpulkan bahwa pendiri tarekat as-sadziliyah adalah Ali
bin Abdullah bin Abd. Al-Jabbar
Abu al-Hassan al-Syadziliy. Dan terekat
ini pula terkenal dengan Hizib-hizibnya sesuai di sebutkan diatas. Dan perlu
diketahui bahwa Hizib ini bukanlah doa yang sederhana, ia
secara kebaktian tidak begitu mendalam; ia lebih merupakan mantera megis yang
Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A'zhim) dan, apabila dilantunkan secara
benar, akan mengalirkan berkan dan menjamin respon supra natural.
Kemudian Yang menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily,
justru kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik
akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar
doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin sufistik yang sangat dahsyat.
Akhirnya, penulis berharap mudah-mudahan karya ilmiah ini
berfanfaat khususnya bagi perbendaharaan penulis sendiri dan umumnya bagi
pembaca sekalian. jikalau terdapat kekeliruan dalam penulisan ini baik dari
segi penulisan, isi ataupun yang lainnya, berikanlah kritik yang positif bagi
penulis supaya sebagai bahan koreksi bagi penulis sendiri. Kurang dan lebihnya
penulis ucapkan terimakasih.
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-3145763305899807"
crossorigin="anonymous"></script>
DAFTAR PUSTAKA
Mulyati, Sri et.al Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2005), Cet ke-II, hlm. 57
Mansur HM, Laili, Ajaran dan Teladan
Para Sufi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 227
Renard, Jhon, Surat-surat Sang Sufi, terj. M.S
Nasrullah dari Ibn Abbad of Ronda:letters
of the sufi path, (Bandung: Mizan,1993), hlm. 60
www.sufi news.com
[1] Silsilah keturunannya
mempunyai hubungan dengan orang-orang garis keturunan Hasan Ali bin Abi Thalib,
dan dengan denikian berarti juga ketuirunan Siti Fatimah, anak perempuan Nabi
Muhammad SAW. Al-Syadzili sendiri pernah menuliskan silsialh keturunnannya
sebagai berikut: Ali bin Abdullah bin Abd. Jabber bin yusuf bin ward bin
Batthal bin ahmad bin Muhammad bin Isa bin Muhammad bin Hassan bin Ali bin Abi
Thalib. Lihat Sri Mulyati et.al Tarekat-tarekat
Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), Cet ke-II, hlm. 57
[5] Jhon
Renard, Surat-surat Sang Sufi, terj.
M.S Nasrullah dari Ibn Abbad of
Ronda:letters of the sufi path, (Bandung: Mizan,1993), hlm. 60
0 komentar:
Posting Komentar