Rabu, 31 Agustus 2016

PRINSIP-PRINSIP DAN NILAI-NILAI EDUKATIF DALAM KETELADANAN

PRINSIP-PRINSIP DAN NILAI-NILAI EDUKATIF DALAM KETELADANAN
A.    Prinsip-prinsip Penerapan Keteladanan
Keteladanan adalah peniruan tentang suatu aspek yang dihubungkan dengan aspek lainya. Sehubungan itu, dalam penerapannya, keteladanan harus diperhatikan prinsip-prinsip, antara lain sebagai berikut:
  1. Sedini Mungkin/ Sejak Dini
Pendidikan agama dan keteladanan dalam kelurga harus diterapkan sejak dini dengan melihat kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh orang tuanya sehingga akan mudah tertanam dalam jiwanya dan akan lebih cepat meniru dan meneladaninya hingga ia dewasa nanti[1].
  1. Kesinambungan (kontinuitas)
Keteladanan tidak hanya dilakukan dalam waktu satu hari atau satu minggu lalu selesai (ditentukan oleh hitungan waktu), tetapi harus dilakukan secara terus-menerus mulai sejak kecil hingga anak dewasa bahkan sampai ia meninggal dunia. Apabila hal itu tidak dilakukan secara kontinuitas akan menimbulkan keraguan dalam jiwa anak.
  1. Konsisten
Dalam memberikan keteladanan kepada anak haruslah seimbang antara ucapan dengan perbuatan baik hari ini, hari esok bahkan seterusnya. Misalnya orang tua mengajarkan tentang kejujuran, suatu ketika anak mendengar ibunya berdusta kepada ayahnya atau sebaliknya, atau slah satunya berdusta kepada orang lain, sekali saja maka itu cukup untuk menumbangkan nilaikejujuran dalam jiwanya[2].
d.   Ikhlas Dan Sabar
Orang tua sebagai pendidik hendaklah bersikap ikhlas, sabar dan berniat semata-mata karena Allah Swt dalam seluruh pekerjaan edukatifnya, baik berupa perintah, nasehat, larangan, pengawasan atau hukuman yang dilakukan. Keikhlasan, kesabaran dan kejujuran dalam melaksanakan suatu pekerjaan adalah bentuk dari sikap tawakal yang akan membantu dalam meraih sukses, baik dalam kelaksanakan tugas maupun dalam membina atau mendidik anak-anaknya[3].
Ikhlas dalam perkataan dan perbuatan adalah bagian dari asas iman. Oleh karena itu, sikap ikhlas juga harus tergambarkan dalam melaksanakan syariat Islam. Bahkan Allah tidak akan menerima suatu perbuatan yang dikerjakan secara tidak ikhlas, dan Ia memerintahkan untuk ikhlas sebagaimana tercantum dalam al-Quran yakni:
وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكوة وذالك دين القيمة (البينة :5)

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan (dengan ikhlas) kepada-nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, yang demikian itulah agama yang lurus.” (Q.S Al-Bayyinah/98:5)

Sholat, Zakat dan semua bentuk pengabdian pada Allah harus didasarkan pada pemurniaan ketaatan atau sikap ikhlas. Sikap demikian itu akan berpengaruh positif pada anak, apabila prinsip ini menjadi dasar dalam penerapan keteladanan pada usia dini.
Demikian, Adnan Hasan Shalih Baharits berpendapat bahwa Pada usia dini keteladanan orang tua sangat berpengaruh terhadap kepribadian anak. Segala yang dilakukan oleh orang tua dianggapnya selalu benar dan paling baik. Maka secara otomatis anak akan mudah menirunya[4].
Orang tua dan guru selaku pendidik hendaknya lebih banyak menggunakan metode keteladanan. Karena keteladanan dipandang lebih baik dibanding dengan teknik atau metode pendidikan verbal (seperti, nasehat, ceramah atau omelan). Jika perilaku orang tua atau guru berbeda atau bertolak belakang dengan nasihat-nasihatnya, maka mereka tergolong dalam kategori “kaburo maktan ‘indalloh” sebagaimana firman Alloh, yakni:
ياأيها الذين أمنوالم تقولون مالا تفعلون (2) كبر مقتا عند الله أن تقولوا ما لا تفعلون(3)


"orang –orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang kamu tidak kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan". (QS. Ash-Shaf. 2-3)

Demikian itu, akan berdampak pada kegagalan dalam proses pembinaan/pendidikan.
Di antara berbagai hal yang perlu diperhatikan seorang guru dalam mencerminkan keteladanan kepada anak didiknya adalah :
1.      menjauhkan diri dari sikap dusta
2.      menjaga kebersihan diri dan lingkungan
3.      bertutur kata yang baik
4.      berpakaian yang sopan dan rapih
5.      memiliki sikap toleran terhadap anak didik[5].
Dari keterangan di atas, terlihat jelas bahwa keteladanan dimulai dari diri sendiri dengan menanamkan perilaku yang baik kepada anak-anak, dan dengan menciptakan lingkungan yang baikyang dibangun secara kerjasama antara anggota keluarga. Demikian itu, mengingat lingkungan keluarga adalah sebuah basis awal kehidupan bagi setiap manusia. Banyak hadis yang meriwayatkan pentingnya pengaruh keluarga dalam pendidikan anak dalam beberapa masalah seperti masalah aqidah, budaya, norma, emosional dan sebagainya. Keluarga menyiapkan sarana pertumbuhan dan pembentukan kepribadian anak sejak dini. Dengan kata lain kepribadian anak tergantung pada pemikiran dan perlakuan kedua orang tua dan lingkungannya. Rasulullah saw bersabda, “Setiap anak yang dilahirkan berdasarkan fitrah, Kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya dia yahudi atau Nasrani atau majusi” sebagaimana sabda Nabi Muhammad S.A.W :
عن الاسود ابن شريح ابو يعلى ان النبى . ص.م. قال : كل مو لود يولد على الفطرة حتى يعرب عنه لسانه فابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه)رواه ابو داود و الطبرانى وبيهقى(

“Dari ASwad Ibnu Sari’ Abu Ya’la, Sesungguhnya Nabi Bersabda: Semua anak dilahirkan atas fitrah sehingga ia jelas berbicara, maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi yahudi, nasrani atau majusi” (H.R. Abu Daud, Thabrani dan Baihaqi)[6].


B.     Nilai-nilai Edukatif dalam Keteladanan
Pola pengaruh keteladanan berpindah kepada peniru melalui beberapa bentuk, dan bentuk yang paling penting adalah:
  1. Pemberian Pengaruh Secara Spontan
Pengaruh yang tersirat dari sebuah keteladanan akan menentukan sejauh mana seseorang memiliki sifat yang mampu mendorong orang lain untuk meniru dirinya, baik dalam keunggulan ilmu pengetahuan, kepemimipinan, atau ketulusan. Dalam kondisi yang demikian, pengaruh keteladanan itu terjadi secara spontan dan tidak di sengaja. Ini berarti bahwa setiap orang yang ingin dijadikan panutan oleh orang lain harus sesantiasa mengontrol perilakunya dan menyadari bahwa dia akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah atas segala tindak tanduk yang diikuti oleh khalayak atau ditiru oleh orang-orang yang mengaguminya. Semakin dia waspada dan tulus, semakin bertambahlah kekaguman orang kepadanya sehingga bertambah pula kebaikan dan dampak positif baginya.

  1. Pemberian Pengaruh Secara Sengaja
Pemberian pengaruh melaui keteladanan bisa juga dilakukan secara sengaja. Misalnya, seorang pendidik menyhampikan model bacaan yang diikuti oleh anak didik. Seorang imam membaguskan sholatnya untuk mengajarkan sholat yang sempurna. Dalam hal ini, Rasulullah SAW. Telah memberikan teladan langsung kepada para sahabat sehingga mereka telah banyak mempelajari masalah keagamaan sesuai dengan permintaan Rasulullah SAW[7]. Agar mereka meneladani beliau sebagaimana dijelaskan dalam sabdanya ini:
صلوا كما رايتموني اصلي )رواه البخارى(
 ‘Sholatlah sebagaimana kamu melihat aku sholat.” (HR. Bukhari)
Demikianlah, Rasulullah SAW. Sebagai figur pendidik Islami, mengisyaratkan agar pihak-pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan mengarahkan anak didiknya melalui teladan dan contoh perbuatan secara langsung. Dan tidak kalah pentingnya, para pendidik pun dituntut untuk mengarahkan pandangan anak didik untuk meneladani perbuatannya. Tentu saja, pendidik yang bersangkutan harus mengacukan perbuatanya sesuai dengan perilaku Rasulullah SAW., sehingga dia termotifasi untuk menyempurnakan sholat dan ibadah lainya, dan perilakunya. Pendidik yang demikian dapat dikatakan sebagai pendidik yang telah membuat jejak-jejak kebaikan.
Cinta kasih, kelembutan, dan kehangatan yang tulus merupakan dasar yang penting dalam mendidik anak. Kesemuanya itu terpancar dalam kehangatan komunikasi antara orang tua dan anak. Dalam mendidik anak, kasih sayang yang ikhlas dari orang tua mutlak diperlukan.
Para ahli penelitian pendidikan anakmenyimpulkan bahwa factor yang paling dominant terhadap timbulnya rasa hasud dalam diri anak adalah adanya pengutamaan saudara yang satu di antara saudara yang lainnya. Oleh karena itu orang tua harus menjauhkan factor-faktor yang dapat menyulut sikap dengki dan benci di antara anak-anaknya. Orang tua harus bersikap adil dalam pemberian kasih sayang[8].
Dengan demikian nilai-nilai edukatif yang terkandung dalam keteladanan adalah seoraang yang menjadi figur teladan haruslah memiliki sifat-sifat yang baik yang mampu mendorong peniru atau orang lain untuk mengikuti segala sifat dan perilakunya. Sebab orang yang terpengaruh secara tidak disadari akan menyerap kepribadian orang yang mempengaruhinya, baik sebagian maupun seluruhnya. Oleh karena itu, betapa bahayanya bila seseorang  berbuat tidak baik padahal ada orang lain yang menirunya, dengan demikian orang tersebut akan menanggung dosa orang yang menirunya.


<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-3145763305899807"
     crossorigin="anonymous"></script>

DAFTAR PUSTAKA
ü  Yusuf Muhammad Al Hasan, Pendidikan Anak dalam..., Cet.I, h. 32.
ü  Faramarz bin Muhammad Rahbar, Selamatkan Putra Putrimu dari Lingkungan tidak Islami, (Mitra Pustaka, Yogyakarta, 1999), Cet. II, h. 59 
ü  Kautsar Muhammad Al-Mainawi, Hak Anak..., Cet. I, h. 92.
ü  Adnan Hasan Shalih Baharits, Tanggung Jawab..., h. 54.
ü  Jaudah Muhammad Awwad, Mendidik Anak Secara Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996) Cet. III, h. 13.
ü  Sayid Ahnad Al-Hasyimi, Mukhtar Al-Hadist…, Cet. XXII, h. 112.
ü  Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah Dan Masyarakat (Jakarta : Gema Insani Press, 1995) Cet. I, h. 266-267. 
ü  Adnan Hasan Shalih Baharits, Tanggung Jawab Ayah..., h. 57.




[1]  Yusuf Muhammad Al Hasan, Pendidikan Anak dalam..., Cet.I, h. 32.
[2]  Faramarz bin Muhammad Rahbar, Selamatkan Putra Putrimu dari Lingkungan tidak Islami, (Mitra Pustaka, Yogyakarta, 1999), Cet. II, h. 59 
[3] Kautsar Muhammad Al-Mainawi, Hak Anak..., Cet. I, h. 92.
[4] Adnan Hasan Shalih Baharits, Tanggung Jawab..., h. 54.
[5] Jaudah Muhammad Awwad, Mendidik Anak Secara Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996) Cet. III, h. 13.
[6] Sayid Ahnad Al-Hasyimi, Mukhtar Al-Hadist…, Cet. XXII, h. 112.

[7] Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah Dan Masyarakat (Jakarta : Gema Insani Press, 1995) Cet. I, h. 266-267. 
[8] Adnan Hasan Shalih Baharits, Tanggung Jawab Ayah..., h. 57.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © MAHSUN DOT NET