Macam-macam
Metode Keteladanan
1. Keteladanan
Secara Verbal
a. Komunikasi disengaja (terencana)
Komunkasi disengaja (terencana) adalah komunikasi yang
direncanakan untuk proses pendidikan agar tercapai tujuan pendidikan. Contohnya
adalah ketika seorang guru ingin memberikan materi pelajaran, maka sebelumnya
ia harus merencanakan terlebih dahulu apa saja yang akan disampaikan di dalam
kelas, sehingga dibuatlah RPP (Rencana Praktek Pembelajaran).
b. Komunikasi Spontan
Komunkasi
spontan adalah komunikasi yang diterapkan dalam keseharian yang dapat mencerminkan sikap dan prilaku
seseorang. Contohnya adalah tutur kata orang tua ketika memberikan perintah
kepada anak dengan mengucapkan kalimat ”tolong” terlebih dahulu sebelum menunjukkan
perintah.
2. Kerteladanan
Secara non Verbal
Keteladanan
secara non verbal adalah dengan isyarat, sikap atau prilaku yang dapat
memberikan keterangan yang dipahami oleh orang lain secara umum. Contohnya
Seperti orang tua yang sedang memberitahu suatu tempat kepada anaknya tanpa
mengucapkan kata-kata, namun mengarahkan jari telunjuknya ketempat yang dituju[1].
Dari beberapa uraian yang telah dibahas, penulis
mengambil suatu kesimpulan tentang macam-macam bentuk keteladanan. Bentuk
keteladanan itu terbagi dua, yaitu keteladanan dalam bentuk perkataan/ucapan
dan keteladan dalam bentuk perbuatan.
Pertama, keteladanan dalam bentuk perkataan/ucapan
adalah hal-hal yang dapat ditiru atau dicontoh seseorang dari orang lain,
kemudian akan dipraktekkannya sesuai dengan apa yang didengarnya.
Kedua, keteladanan dalam bentuk perbuatan
adalah hal-hal yang dapat ditiru atau dicontoh seseorang dari orang lain, dalam
bentuk perbuatan, kemudian dipraktekkan sesuai dengan apa yang diihatnya.
Menurut beberapa pendapat mengatakan bahwa keteladanan itu lebih dominan
dengan perbuatan daripada dengan ucapan. Sejak lama orang percaya dan memang
terlihat dalam kehidupan nyata bahwa pendidikan dengan memberikan keteladanan
adalah salah satu bentuk pendidikan terpenting, apalagi di masa kanak-kanak.
Yakinlah bahwa anak-anak akan lebih terpengaruh oleh apa yang kita lakukan,
bukan oleh apa yang kita katakan. Menurut Nurcholis Madjid: “peran orang tua
adalah peran tingkah laku, tauladan-tauladan dan pola-pola hubungan dengan anak
yang dijiwai dan disemangati oleh nilai-niai keagamaan”[2].
Disinilah
terbukti benarnya pepatah: “bahasa perbuatan adalah lebih fasih dari bahasa
ucapan.” (Lisanul-hali-afshahu-min lisanil-maqal)[3]. Jadi bahwa pendidikan agama menuntut
tindakan percontohan lebih banyak dari pada pengajaran verbal. Dapat dikatakan
pula bahwa “pendidikan dengan perbuatan” (tarbiyah bi lisan-i 'I hal) untuk
anak lebih efektif dan lebih mantap dari pada “pendidikan dengan dengan bahasa
ucapan” (tarbiyah bi lisan-i ‘i-maqal). Karena itu yang penting adalah
penghayatan kehidupan keagamaan dalam suasana rumah tangga.
Menurut
penulis sebaiknya dalam teladan haruslah seimbang antara ucapan dengan
perbuatan, karena apabila terjadi kontradiksi antara ucapan dengan perbuatan,
maka Allah SWT. Sangat membencinya kita dapat temukan bahwa al-Quran menolak
keras perilaku orang-orang yang perbuatan berlainan dengan ucapannya; termasuk
didalamnya adalah para ibu, bapak dan semua orang yang mengemban amanat
pendidikan firman Allah SWT.:
ياأيها الذين أمنوالم تقولون مالا تفعلون (2) كبر مقتا عند الله أن تقولوا ما
لا تفعلون(3)
”orang –orang yang beriman,
mengapa kamu mengatakan apa yang kamu tidak kerjakan? Amat besar kebencian di
sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan”. (QS. Ash-Shaf.
2-3)
Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan agama dalam keluarga “diterapkan
dengan keteladanan dan hal ini paling meyakinkan keberhasilan dalam membentuk
dan mempersiapkan moral, spiritual dan sosial anak”[4]. Sebab, Anak-anak akan meniru perilaku orang
dewasa yang mereka amati, jika mereka mendapatkan kedua orang tuanya jujur,
maka mereka akan tumbuh menjadi orang jujur. Keteladanan dalam pendidikan
adalah merupakan metode aspek moal, spiritual dan etos sosial anak. Hal ini
karena pendidik adalah figur terbaik dalam pandangan anak, yang tindak-tanduk
dan sopan santunnya disadari atau tidak akan ditiru anak.
Masalah
keteladanan menjadi faktor penting dalam menentukan baik buruknya anak, jika
pendidik jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia, berani dan menjauhkan diri
dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama. Begitu pula sebaliknya
jika pendidik pembohong, khianat, kikir, penakut dan hina, maka si anak anak
tumbuh dalam kebohongan, khianat, durhaka, kikir, penakut dan hina. Si anak,
bagaimana pun besarnya usaha yang dipersiapkan untuk kebaikannya, bagaimana pun
sucinya fitrah, tidak akan mampu memenuhi prinsip-prinsip kebaikan dan
pokok-pokok pendidikan utama, selama ia tidak melihat sang pendidik sebagai
teladan dari nilai-nilai moral yang tinggi.keteladanan yang baik memiliki
pengaruh yang cukup besar pada diri seorang anak. Anak akan selalu meniru
tabi’at tuanya hingga orang tuanyalah yang akan
pertama kali mencetak anak menjadi apa saja yang diajarkan orang tuanya
melalui perilaku diri merka sendiri. Setiap orang tua dituntut untuk memberikan
keteladanan yang baik tatkala seorang anak mulai tumbuh, maka ia akan merekam
seluruh tingkah laku orang tua dan senantiasa akan bertanya-tanya tentang sebab
suatu peristiwa. Maka apabila jawaban orang tua baik maka akan baik pula untuk
si anak. Orang tua sebagai figure teladan bagi anak-anaknya hendaklah menjaga
sikap dan perilakunya, sebab apa yang mereka lakukan akan menjadi cermin bagi
anaknya.
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-3145763305899807"
crossorigin="anonymous"></script>
DAFTAR PUSTAKA
ü
Yudi Munadi, Media
Pembelajaran, (Jakarta, Gaung Persada Press, 2008), Cet. I, h. 9
ü Nurcholis Madjid, Masyarakat
Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat,
(Jakarta: Paramadina, 2000), Cet. II, h. 81.
ü Dudung Abd. Rahman, 350
Mutiara Hikmah & Syair Arab (Bandung : Media Qalbu), Cet. I, h.75.
ü Abdullah Nasih Ulwan, Pedoman
Pendidikan Anak Dalam Islam, (CV. Asy-Syifa, 1981), Cet. III, h. 2.
[1] Yudi Munadi, Media
Pembelajaran, (Jakarta, Gaung Persada Press, 2008), Cet. I, h. 9
[2] Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius:
Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat, (Jakarta:
Paramadina, 2000), Cet. II, h. 81.
[4] Abdullah Nasih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak
Dalam Islam, (CV. Asy-Syifa, 1981), Cet. III, h. 2.
0 komentar:
Posting Komentar