Rabu, 31 Agustus 2016

KONSISTENSI SIKAP KEBERAGAMAAN SISWA

KONSISTENSI SIKAP KEBERAGAMAAN SISWA

1.       Pengertian  dan ciri – ciri  Sikap
      Manusia dapat mempunyai bermacam-macam sikap terhadap bermacam-macam hal. Contoh-contoh di bawah ini akan menunjukan apakah yang sebenarnya dimaksud  dengan sikap tersebut dalam kehidupan sehari-hari:
1)      Bagi seorang Islam yang fanatik, maka makanan dari daging babi adalah haram dan kotor. Kalau kepadanya dikatakan bahwa makanan yang sedang dikunyahnya adalah daging babi, maka makanan itu akan segera dimuntahkannya ke luar.
2)      Seorang pedagang tingkat tinggi lebih menyukai mobil mereka “Mercedes-Benz” daripada merek-merek lainnya, sekalipun mobil-mobil lain barangkali tidak kalah mewahnya dan sama harganya.
3)      Seorang anak kecil suka sekali pada coklat dan eskrim[1].
Dari contoh di atas jelas bahwa sikap merupakan respon terhadap suatu obyek baik menerima obyek tersebut atau menolaknya. Seorang muslim yang tahu bahwa daging babi haram akan bersikap konsisten untuk menjahui makanan yang mengandung daging babi. Begitu pula ketertarikan seseorang terhadap obyek akan mendorongnya tidak mau berpaling kepada hal lain, walaupun boleh jadi hal tersebut lebih mewah dari semisalnya seperti ”mercedes-benz” dan lebih enak dari semisal ”coklat dan eskrim”.
Dengan demikian ketika seorang siswa mempunyai sikap baik terhadap pelajaran, maka siswa tersebut kecendrungannya menyenangi pelajaran tersebut, ikut aktif dalam pembelajaran dan mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru pelajaran yang bersangkutan.
Siswa yang mempunyai sikap baik dan senang dengan pelajaran memiliki motivasi lebih dalam belajar, jika dibandingkan dengan siswa yang  bersikap negatif dengan pelajaran sehingga dia acuh dengan tugas-tugas yang diberikan guru dan tidak ada perhatian terhadap pelajaran.
Sikap (attitude) dapat juga merupakan  suatu cara bereaksi terhadap suatu perangsang tertentu. Bagaimana reaksi seseorang jika ia terkena suatu ragsangan baik dari orang, benda-benda, ataupun situasi-situasi yang mengenai dirinya terutama dari kalimat berikut :”Pak amin bersikap acuh tak acuh terhadap persoalan yang menyangkut keluarganya.” Kalimat ini dapat dinyatakan bahwa sikap adalah suatu perbuatan atau tingkah laku sebagai reaksi atau respons terhadap suatu rangsangan (stimulus) yang disertai dengan pendirian dan perasaan orang itu. Selanjutnya sebagian psikolog mengemukakan “sikap diawali dengan perasaan (emosi) baru kemudian menunjukan reaksi (respon) atau kecendrungan untuk bereaksi. Sebagai sebuah reaksi, sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif: senang atau tidak senang, melaksanakannya atau menjahuinya (menghindarinya) dan begitu seterusnya. Untuk itu Allport menyatakan bahwa sikap adalah keadaan mental dimana prosesnya berawal dari reaksi terhadap sebuah pengalaman yang dipandang memberikan pengaruh dinamik atau terarah pada diri individu.”[2]
Sikap (attitude) diartikan juga sebagai suatu kecendrungan untuk mereaksi terhadap suatu hal, orang atau benda dengan suka, tidak suka atau acuh tak acuh.[3] Menurut Mueller sebagaimana di kutip oleh Tohirin menyatakan bahwa sikap adalah (1) pengaruh atau penolakan, (2) Penilaian, (3) suka atau tidak suka, (4) kepositifan atau kenegatifan terhadap suatu objek psikologis. [4]
 Dapat disimpulkan dari beberapa pengertian diatas bahwa sikap merupakan respon seseorang terhadap suatu obyek atau bermacam-macam obyek, baik itu respon positif maupun respon negatif  yang terbentuk dari pengalaman dan belajar yang dilalui oleh seseorang dilingkungannya yang berbentuk suka, tidak suka, atau acuh tak acuh.
Untuk membedakannya dari aspek-aspek psikis yang lain (seperti motif, kebiasaan, pengetahuan dan lain-lain) perlu dikemukakan ciri-ciri sikap sebagai berikut:
1)      Dalam sikap selalu terdapat hubungan subyek-obyek. Tidak ada sikap yang tanpa obyek. Obyek ini berupa benda, orang, kelompok orang, nilai-nilai sosial, pandangan hidup, hukum, lembaga masyarakat dan sebagainya.
2)      Sikap tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari dan dibentuk melalui pengalaman-pengalaman.
3)      Karena sikap tak dipelajari, maka sikap dapat berubah-ubah sesuai dengan keadaan lingkungan disekitar individu yang bersangkutan pada saat-saat yang berbeda-beda.
4)      Dalam sikap tersangkut juga motivasi dan perasaan. Inilah yang membedakannya daripada misalnya, pengetahuan.
5)      Sikap tidak menghilang walaupun kebutuhan sudah dipenuhi.
6)      Sikap tidak hanya satu macam saja, melainkan sangat bermacam-macam sesuai dengan banyaknya obyek yang dapat menjadi perhatian orang yang bersangkutan.[5]
Jika dikaitkan dengan pendidikan dari ciri sikap diatas, dapat dijadikan dasar yang penting dalam mengupayakan sikap yang baik kepada siswa melalui kegiatan proses belajar-mengajar yang menumbuhkan rasa senang siswa, membuat lingkungan kelas yang kondusif dan nyaman bagi siswa dalam belajar, dan perhatian guru terhadap siswa. Upaya tersebut harus dilakukan oleh seorang guru mengingat sikap tidak dibawa sejak lahir melainkan dibentuk melalui pemberian pemahaman kapada siswa tentang suatu obyek atau situasi, misalnya saja pentingnya shalat lima waktu, menolong orang lain, berkata jujur dsb.
Melalui pendidikan dalam keluarga dan sekolah, dapat ditanamkan dan dikembangkan sikap terhadap banyak hal. Di sekolah dikembangkan selain sikap terhadap konsep-konsep yang diajarkan juga dikembangkan sikap-sikap yang berkaitan dengan kehidupan sekolah itu sendiri, seperti sikap disiplin, bekerja dengan jujur dan sikap-sikap lain yang dipandang penting dalam kehidupan masyarakat. [6]
Dengan demikian peranan pendidikan dalam keluarga dan sekolah menjadi penting dalam upaya menjaga sikap siswa, mengingat pada era modernisasi ini banyak hal-hal yang kurang baik yang perlu dihindari oleh siswa. Untuk itulah peranan pendidik di sekolah dalam rangka pengembangan sikap siswa harus didukung pula oleh peran orang tua di rumah. Dengan sinergi demikian maka siswa dapat terhindar dari sikap yang tidak baik.
2.       Proses Pembentukan dan Perubahan Sikap
Interaksi sosial baik antara kelompok dan di luar kelompok dapat mempengaruhi proses terbentuknya sikap karena salah satu ciri sikap yakni sikap tidak terbentuk dengan sendirinya atau dibawa sejak lahir melainkan ada obyek yang mempengaruhinya. Sikap ini bisa dibentuk di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.
Secara umum pembentukan dan perubahan sikap dapat terjadi melalui empat cara:
1)      Adaptasi/Adopsi, yaitu kejadian-kejadian yang terjadi berulang-ulang dan terus menerus, lama kelamaan secara bertahap diserap ke dalam diri individu dan mempengaruhi terbentuknya suatu sikap. Misalnya, seorang yang sejak lahir sampai ia dewasa tinggal di lingkungan yang fanatik Islam, ia akan mempunyai sikap negatif terhadap daging babi.
2)      Diferensiasi, yaitu sikap yang terbentuk karena perkembangan Inteligensi, bertambahnya pengalaman, sejalan dengan bertambahnya usia, maka ada hal-hal yang tadinya dianggap sejenis, sekarang dipandang tersendiri lepas dari jenisnya. Terhadap obyek tersebut dapat terbentuk sikap tersendiri pula. Misalnya, seseorang anak kecil mula-mula takut kepada setiap orang dewasa yang bukan ibunya, tetapi lama kelamaan ia dapat membedakan antara orang yang dekat dengan dirinya, yang disukainya dengan orang-orang asing yang tidak disukainya.
3)      Integrasi, dimana pembentukan sikap disini terjadi secara bertahap, dimulai dengan berbagai pengalaman yang berhubungan dengan suatu hal tertentu, sehingga akhirnya terbentuk sikap mengenai hal tersebut. Misalnya, Seseorang yang tinggal di desa yang sering mendengar cerita positif mengenai kota akan mendorong ia pergi ke kota.
4)       Trauma, yakni pengalaman yang tiba-tiba mengejutkan dan biasanya meninggalkan kesan mendalam pada jiwa orang yang bersangkutan, sehingga pada akhirnya membentuk sikap tertentu. Pengalama-pengalaman yang traumatis dapat juga menyebabkan terbentukya sikap. Misalnya, seorang yang pernah terjatuh dari sepeda motor, selamanya tidak suka lagi naik sepeda motor.[7]
Dalam dunia pendidikan pembentukan dan perubahan sikap siswa dapat dilakukan melalui proses belajar, dengan menanamkan nilai-nilai kepada siswa baik melalui pembiasaan, keteladanan maupun latihan secara intensif. Pembentukan dan perubahan sikap yang mungkin dilakukan melalui cara integrasi dimana siswa diajarkan mengenai materi tertentu, secara bertahap dapat menarik perhatian siswa, misalkan seorang siswa yang diberikan pemahaman secara terus–menrus tentang pentingnya shalat, secara bertahap muncul ketertarikan terhadap shalat, sehingga mau melaksanakan shalat.
3.      Faktor – Faktor  yang Mempengaruhi Terbentunya Sikap
Setiap orang mempunyai sikap (attitude) yang berbeda-beda terhadap suatu perangsang dikarenakan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi baik yang datang dari luar (ekstern) maupun yang datang dari dalam diri sendiri (intern). Dua faktor ini dapat dijelaskan sebagi berikut :
1)      Faktor intern, yaitu faktor yang terdapat pada diri orang yang bersangkutan. Kita tidak dapat menangkap seluruh perangsang dari luar melalui persepsi kita, oleh karena itu kita cendrung melakukan seleksi atas rangsangan-rangsangan yang ada, mana yang akan didekati dan mana yang harus dijahui. Pilihan ini ditentukan oleh faktor intern, sebab dalam tindakan memilih seseorang terlebih dahulu menentukan apakah ia akan berdampak positif atau negatif  bagi kehidupannya.
2)      Faktor ekstern, selain faktor-faktor yang terdapat dalam diri sendiri, maka pembentukan sikap ditentukan pula oleh faktor-faktor yang berada dari luar, yaitu:
a.       Sifat objek yang dijadikan sasaran sikap.
b.      Kewibawaan orang yang mengemukakan suatu sikap.
c.       Sifat orang-orang atau kelompok yang mendukung suatu sikap.
d.      Media komikasi yang digunakan dalam menyampaikan sikap.
e.       Situasi pada saat sikap (attitude) itu di bentuk. [8]
Perwujudan atau terjadinya sikap seseorang itu dapat dipengaruhi oleh faktor pengetahuan, kebiasan dan keyakinan. Karena itu untuk membentuk/membangkitkan suatu sikap yang positif atau untuk menghilangkan suatu sikap yang negatif dapat dilakukan dengan menginformasikan faedah atau kegunaan dengan membiasakan atau dengan dasar keyakinan.[9]
Dalam proses belajar menurut M Alisuf Sabri sikap berfungsi sebagai ”Dynamic Force” yaitu sebagai kekuatan yang akan menggerakan orang untuk belajar. Jadi siswa yang sikapanya negatif (menolak/tidak senang) kepada pelajaran/gurunya tidak akan tergerak untuk mau belajar, sebaliknya siswa yang sikapnya positif akan digerakan oleh sikapnya yang positif itu untuk mau belajar.[10]
Dengan demikian sikap sangat menentukan keberhasilan bagi sebuah pendidikan, untuk itulah pendidik di sekolah harus mampu menumbuhkan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap itu sendiri, baik faktor ekstern maupun faktor intern. Materi pelajaran, suasana belajar siswa dan guru harus mampu mendorong sikap siswa kearah yang positif.
4.      Konsistensi Sikap Keberagamaan Siswa
Konsistensi  berasal dari kata konsisten yang dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti (1) tetap (tidak berubah-ubah), taat asa, ajek (2) selaras, sesuai. Sedangkan konsistensi yakni ketetapan,  kemantapan (dalam bertindak) atau ketaatasasan. [11]
Kata keberagamaan yang berasal dari kata “beragama” mendapat tambahan ke-an berarti keadaan atau perihal sesuatu. Keberagamaan adalah keadaan atau prihal beragama. Keberagamaan dapat dimaknai sebagai perihal ketaatan seseorang individu yang menyakini suatu ajaran agama yang tergambar jelas dalam segenap aspek kehidupan yang dijalaninya, baik hubungannya dengan tuhan, manusia maupun lingkungannya. [12]
Sikap keberagamaan adalah perwujudan seorang penganut agama menyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama yang dianutnya dalam semua segi kehidupan yang dijalani dalam kehidupan sehari-hari.[13]
Sikap keagamaan merupakan suatu yang ada dalam diri seseorang yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku yang berkaitan dengan agama. Sikap keagamaan terbentuk karena adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai komponen kognitif  perasaan terhadap agama sebagai komponen afektif dan prilaku terhadap agama sebagai komponen konatif. Di dalam sikap keagamaan antara komponen kognitif, afektif dan konatif saling berintegrasi sesamanya secara komplek.[14]
Sejalan dengan pendapat Triandis sebagaimana dikutip oleh Abd.Rachman Abror, sikap memperlihatkan tiga macam aspek atau komponen, yang biasa diteliti secara terpisah atau bersama-sama. Ketiga aspek atau komponen dimaksud, adalah:
1)      Kognitif yaitu mengenai gagasan atau proposisi-proposisi yang menyatakan hubungan antara situasi dan obyek sikap.
2)      Afektif yaitu mengenai emosi atau perasaan yang menyertai gagasan
3)      Tingka laku yaitu mengenai kecedrungan atau kesiapan untuk bertindak.[15]
Begitu pula pendapat yang dikemukan  oleh Zakiah Daradjat yang dikutip oleh jalaluddin dan Ramayulis, mengatakan bahwa “Sikap keagamaan merupakan perolehan dan bukan bawaan. Ia terbentuk melalui pengalaman langsung yang terjadi dalam hubungannya dengan unsur-unsur lingkungan materi dan sosial, misalnya rumah yang tentram, orang tertentu, teman orang tua, jamaah dan sebagainya.”[16]
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sikap keberagamaan merupakan sesuatu yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan agama yang dianutnya setelah adanya pemahaman dan penghayatan serta keyakinan terhadap ajaran agama yang dianutnya.
Dengan demikian seseorang penganut agama melakukan atau tidak melakukan suatu ajaran agama didorong oleh adanya pemahaman, penghayatan dan keyakinan terhadap ajaran agamanya. Semisalnya saja ketika seorang yang muslim disuguhkan makanan yang diketahui mengandung daging babi di dalamnya, akan cendrung menolak dan tidak memakan karena ia paham akan keharaman daging babi dan keyakinan yang kuat bahwa kalau ia memakan akan berdosa.
Kosistensi sikap keberagamaan sendiri dapat berarti ketetapan, kamantapan (dalam bertindak) serta ketaatasasan dalam bertingkah laku sesuai dengan ajaran agama, setelah ia paham dan menerima serta menyakini ajaran agamanya.
Di dalam sekolah apabila Sikap keberagamaan yang dimiliki siswa akan baik akan mendorongnya untuk mengamalkan ajaran agama Islam secara sadar dan penuh dengan keikhlasan terutama pada remaja yang telah memahami secara abstrak dari ajaran agama yang dianutnya.
Pada masa remaja Pertama (13 -16), atau masa usia siswa telah memasuki sekolah menengah pertama, siswa telah mempunyai pemahaman abstrak dari kenyataan yang dilihat atau didengarnya, maka sikap siswa terhadap agama tidak menerima begitu saja, tanpa memahaminya.
Hal ini sebagaimana dikemukan oleh Zakiyah Darajat yakni perkembangan kecerdasan remaja, telah sampai kepada mampu memahami  hal yang abstrak pada umur 12 tahun dan mampu mengambil kesimpulan yang abstrak dari kenyataan yang dilihat  atau didengarnya, maka pendidikan agama tidak akan diterimanya begitu saja tanpa memahaminya.[17]
Dengan demikian jelaslah peran sekolah dalam membentuk sikap keberagamaan kepada siswa. Pengajaran guru akan membentuk sikap keberagamaan siswa secara baik, manakala guru memperhatikan perkembangan sikap keberagamaan siswa, jangan sampai siswa yang sering mempertanyakan tentang ajaran agamanya tidak diakomodasi secara baik oleh guru, atau diabaikan sehingga siswa tidak mendapatkan pemahaman mengenai agamanya. Dengan pengajaran agama yang baik diharapkan konsistensi sikap keberagamaan siswa juga akan baik.
5.      Pendidikan agama untuk dihayati
  Masalah penghayatan (internalization) sesuatu hal biasa berlaku bukan hanya pada pendidikan agama saja, tetapi pada semua aspek pendidikan, pada pendidikan pra-sekolah, pendidikan sekolah, pendidikan tinggi dan sebagainya. Sebab adalah terlalu dangkal kalau pendidikan itu hanya ditujukan untuk memperoleh ilmu (knowledge) dan ketrampilan (skill) saja, tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah penanaman sikap (attitude) yang positif pada diri pendidik terhadap hal yang menjadi tumpuan pendidikan.[18]
            Kemudian agar agama itu benar-benar dapat dihayati, dipahami, dan digunakan sebagai pedoman hidup bagi manusia, maka agama itu hendaknya menjadi unsur-unsur dalam kepribadiannya. Hal itu dapat dilakukan dengan percontohan latihan-latihan (pengalaman) dan pengertian tentang ajaran agama, jadi agama adalah amaliah dan ilmiah sekaligus.[19]
Pendikan agama yang baik tidak hanya memberi manfaat bagi siswa saja tetapi juga membawa dampak positif bagi lingkungan kelurga dan masyarakat secara umum. Penghayatan, pemahaman dan menjadikan agama sebagai pedoman hidup perlu didorong secara terus menerus agar yang menjadi tujuan dari pendidikan agama dapat dicapai tidak hanya sebatas lulus dalam ujian atau mendapatkan nilai baik.
Untuk itu perlu pengajaran yang menyentuh aspek afektif dan psikomotorik siswa, tidak hanya aspek kognitif. Dengan demikian Pendidikan Agama Islam ada manfaatnya dalam kehidupan keseharian siswa.


<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-3145763305899807"
     crossorigin="anonymous"></script>


DAFTAR PUSTAKA

ü  Abd Rachman Abror, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta:Tiara Wacana,1993), cet. 4
ü  Akyas Azhari, Psikologi  Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Taraju Mizan, 2004), cet. 1
ü  Hasan Langgulung,  Manusia dan Pendidikan, Suatu analisa Psikologi dan Pendidikan
ü  M.Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan berdasarkan kurikulum Nasional (Jakarta:Pedoman Ilmu Jaya,1996), cet. 2
ü  Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi (Jakarta: Bulan Bintang, 2000)
ü  Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia
ü  Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan  Agama Islam , (Jakarta: Raja Grafindo Persada , 2006).
ü  Zainal Mutaqin, Pengaruh Salat Tahajud terhadap Sikap Keberagamaan Siswa
ü  Zainal Mutaqin, Pengaruh Salat Tahajud terhadap Sikap Keberagamaan Siswa, (Skripsi SI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009)



     [1] Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi (Jakarta: Bulan Bintang, 2000), h. 94.
     [2] Akyas Azhari, Psikologi  Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Taraju Mizan, 2004), cet. 1, h. 162.
     [3] M.Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan berdasarkan kurikulum Nasional (Jakarta:Pedoman Ilmu Jaya,1996), cet. 2,  h. 83.
     [4] Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan  Agama Islam , (Jakarta: Raja Grafindo Persada , 2006), h. 58.
      [5] Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi…hlm. 95.
      [6] M.Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan berdasarkan kurikulum Nasional…hlm. 101.
     [7] Akyas Azhari, Psikologi  Umum dan Perkembangan....hlm. 163.
     [8] Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi…hlm. 96.
     [9] M.Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan berdasarkan kurikulum Nasional…hlm.84.
     [10] M. Alisuf Sabri,Psikologi Pendidikan berdasarkan Kurikulum Nasional…hlm.85.
     [11] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia,…hlm. 457.
     [12] Zainal Mutaqin, Pengaruh Salat Tahajud terhadap Sikap Keberagamaan Siswa, (Skripsi SI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009), h. 27
    [13]  Zainal Mutaqin, Pengaruh Salat Tahajud terhadap Sikap Keberagamaan Siswa,…hlm. 28
     [14] Jalaluddin dan Ramayulis,Pengantar Ilmu Jiwa Agama,…hlm.131
     [15] Abd Rachman Abror, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta:Tiara Wacana,1993), cet. 4, h. 108
     [16] Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama,…hlm. 132.
     [17] Zakyah darajat, Ilmu Jiwa Agama,…hlm. 135. 
     [18]Hasan Langgulung,  Manusia dan Pendidikan, Suatu analisa Psikologi dan Pendidikan,...hlm. 402.
     [19] Zakyah darajat, Ilmu Jiwa Agama,…hlm. 125.  
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © MAHSUN DOT NET