1.
Pengertian
dan ciri – ciri Sikap
Manusia
dapat mempunyai bermacam-macam sikap terhadap bermacam-macam hal. Contoh-contoh
di bawah ini akan menunjukan apakah yang sebenarnya dimaksud dengan sikap tersebut dalam kehidupan
sehari-hari:
1)
Bagi seorang Islam yang fanatik, maka makanan dari
daging babi adalah haram dan kotor. Kalau kepadanya dikatakan bahwa makanan
yang sedang dikunyahnya adalah daging babi, maka makanan itu akan segera
dimuntahkannya ke luar.
2)
Seorang pedagang tingkat tinggi lebih menyukai mobil
mereka “Mercedes-Benz” daripada merek-merek lainnya, sekalipun mobil-mobil lain
barangkali tidak kalah mewahnya dan sama harganya.
3) Seorang anak kecil suka sekali pada coklat
dan eskrim[1].
Dari contoh
di atas jelas bahwa sikap merupakan respon terhadap suatu obyek baik menerima
obyek tersebut atau menolaknya. Seorang muslim yang tahu bahwa daging babi
haram akan bersikap konsisten untuk menjahui makanan yang mengandung daging
babi. Begitu pula ketertarikan seseorang terhadap obyek akan mendorongnya tidak
mau berpaling kepada hal lain, walaupun boleh jadi hal tersebut lebih mewah
dari semisalnya seperti ”mercedes-benz” dan lebih enak dari semisal ”coklat dan
eskrim”.
Dengan
demikian ketika seorang siswa mempunyai sikap baik terhadap pelajaran, maka
siswa tersebut kecendrungannya menyenangi pelajaran tersebut, ikut aktif dalam
pembelajaran dan mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru pelajaran yang
bersangkutan.
Siswa yang
mempunyai sikap baik dan senang dengan pelajaran memiliki motivasi lebih dalam
belajar, jika dibandingkan dengan siswa yang
bersikap negatif dengan pelajaran sehingga dia acuh dengan tugas-tugas
yang diberikan guru dan tidak ada perhatian terhadap pelajaran.
Sikap (attitude) dapat juga merupakan suatu cara bereaksi terhadap suatu perangsang
tertentu. Bagaimana reaksi seseorang jika ia terkena suatu ragsangan baik dari
orang, benda-benda, ataupun situasi-situasi yang mengenai dirinya terutama dari
kalimat berikut :”Pak amin bersikap acuh tak acuh terhadap persoalan yang
menyangkut keluarganya.” Kalimat ini dapat dinyatakan bahwa sikap adalah suatu
perbuatan atau tingkah laku sebagai reaksi atau respons terhadap suatu
rangsangan (stimulus) yang disertai dengan pendirian dan perasaan orang itu.
Selanjutnya sebagian psikolog mengemukakan “sikap diawali dengan perasaan
(emosi) baru kemudian menunjukan reaksi (respon) atau kecendrungan untuk
bereaksi. Sebagai sebuah reaksi, sikap selalu berhubungan dengan dua
alternatif: senang atau tidak senang, melaksanakannya atau menjahuinya
(menghindarinya) dan begitu seterusnya. Untuk itu Allport menyatakan bahwa
sikap adalah keadaan mental dimana prosesnya berawal dari reaksi terhadap
sebuah pengalaman yang dipandang memberikan pengaruh dinamik atau terarah pada
diri individu.”[2]
Sikap (attitude) diartikan juga sebagai suatu
kecendrungan untuk mereaksi terhadap suatu hal, orang atau benda dengan suka,
tidak suka atau acuh tak acuh.[3] Menurut
Mueller sebagaimana di kutip oleh Tohirin menyatakan bahwa sikap adalah (1)
pengaruh atau penolakan, (2) Penilaian, (3) suka atau tidak suka, (4)
kepositifan atau kenegatifan terhadap suatu objek psikologis. [4]
Dapat
disimpulkan dari beberapa pengertian diatas bahwa sikap merupakan respon
seseorang terhadap suatu obyek atau bermacam-macam obyek, baik itu respon
positif maupun respon negatif yang
terbentuk dari pengalaman dan belajar yang dilalui oleh seseorang
dilingkungannya yang berbentuk suka, tidak suka, atau acuh tak acuh.
Untuk membedakannya dari aspek-aspek psikis yang lain
(seperti motif, kebiasaan, pengetahuan dan lain-lain) perlu dikemukakan
ciri-ciri sikap sebagai berikut:
1)
Dalam sikap selalu terdapat hubungan subyek-obyek.
Tidak ada sikap yang tanpa obyek. Obyek ini berupa benda, orang, kelompok orang,
nilai-nilai sosial, pandangan hidup, hukum, lembaga masyarakat dan sebagainya.
2)
Sikap tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari
dan dibentuk melalui pengalaman-pengalaman.
3)
Karena sikap tak dipelajari, maka sikap dapat
berubah-ubah sesuai dengan keadaan lingkungan disekitar individu yang
bersangkutan pada saat-saat yang berbeda-beda.
4) Dalam sikap tersangkut juga motivasi dan
perasaan. Inilah yang
membedakannya daripada misalnya, pengetahuan.
5) Sikap tidak menghilang walaupun kebutuhan
sudah dipenuhi.
6) Sikap tidak hanya satu macam saja,
melainkan sangat bermacam-macam sesuai dengan banyaknya obyek yang dapat
menjadi perhatian orang yang bersangkutan.[5]
Jika
dikaitkan dengan pendidikan dari ciri sikap diatas, dapat dijadikan dasar yang
penting dalam mengupayakan sikap yang baik kepada siswa melalui kegiatan proses
belajar-mengajar yang menumbuhkan rasa senang siswa, membuat lingkungan kelas
yang kondusif dan nyaman bagi siswa dalam belajar, dan perhatian guru terhadap
siswa. Upaya tersebut harus dilakukan oleh seorang guru mengingat sikap tidak
dibawa sejak lahir melainkan dibentuk melalui pemberian pemahaman kapada siswa
tentang suatu obyek atau situasi, misalnya saja pentingnya shalat lima waktu,
menolong orang lain, berkata jujur dsb.
Melalui
pendidikan dalam keluarga dan sekolah, dapat ditanamkan dan dikembangkan sikap
terhadap banyak hal. Di sekolah dikembangkan selain sikap terhadap
konsep-konsep yang diajarkan juga dikembangkan sikap-sikap yang berkaitan
dengan kehidupan sekolah itu sendiri, seperti sikap disiplin, bekerja dengan
jujur dan sikap-sikap lain yang dipandang penting dalam kehidupan masyarakat. [6]
Dengan
demikian peranan pendidikan dalam keluarga dan sekolah menjadi penting dalam
upaya menjaga sikap siswa, mengingat pada era modernisasi ini banyak hal-hal
yang kurang baik yang perlu dihindari oleh siswa. Untuk itulah peranan pendidik
di sekolah dalam rangka pengembangan sikap siswa harus didukung pula oleh peran
orang tua di rumah. Dengan sinergi demikian maka siswa dapat terhindar dari sikap
yang tidak baik.
2. Proses Pembentukan dan Perubahan Sikap
Interaksi
sosial baik antara kelompok dan di luar kelompok dapat mempengaruhi proses
terbentuknya sikap karena salah satu ciri sikap yakni sikap tidak terbentuk
dengan sendirinya atau dibawa sejak lahir melainkan ada obyek yang
mempengaruhinya. Sikap ini bisa dibentuk di lingkungan keluarga, sekolah maupun
masyarakat.
Secara umum
pembentukan dan perubahan sikap dapat terjadi melalui empat cara:
1) Adaptasi/Adopsi, yaitu kejadian-kejadian yang terjadi berulang-ulang
dan terus menerus, lama kelamaan secara bertahap diserap ke dalam diri individu
dan mempengaruhi terbentuknya suatu sikap. Misalnya, seorang yang sejak lahir
sampai ia dewasa tinggal di lingkungan yang fanatik Islam, ia akan mempunyai
sikap negatif terhadap daging babi.
2) Diferensiasi, yaitu sikap yang terbentuk karena perkembangan
Inteligensi, bertambahnya pengalaman, sejalan dengan bertambahnya usia, maka
ada hal-hal yang tadinya dianggap sejenis, sekarang dipandang tersendiri lepas
dari jenisnya. Terhadap obyek tersebut dapat terbentuk sikap tersendiri pula.
Misalnya, seseorang anak kecil mula-mula takut kepada setiap orang dewasa yang
bukan ibunya, tetapi lama kelamaan ia dapat membedakan antara orang yang dekat
dengan dirinya, yang disukainya dengan orang-orang asing yang tidak disukainya.
3) Integrasi, dimana pembentukan sikap disini terjadi secara
bertahap, dimulai dengan berbagai pengalaman yang berhubungan dengan suatu hal
tertentu, sehingga akhirnya terbentuk sikap mengenai hal tersebut. Misalnya,
Seseorang yang tinggal di desa yang sering mendengar cerita positif mengenai
kota akan mendorong ia pergi ke kota.
4) Trauma,
yakni pengalaman yang tiba-tiba mengejutkan dan biasanya meninggalkan kesan
mendalam pada jiwa orang yang bersangkutan, sehingga pada akhirnya membentuk
sikap tertentu. Pengalama-pengalaman yang traumatis dapat juga menyebabkan
terbentukya sikap. Misalnya, seorang yang pernah terjatuh dari sepeda motor,
selamanya tidak suka lagi naik sepeda motor.[7]
Dalam dunia
pendidikan pembentukan dan perubahan sikap siswa dapat dilakukan melalui proses
belajar, dengan menanamkan nilai-nilai kepada siswa baik melalui pembiasaan,
keteladanan maupun latihan secara intensif. Pembentukan dan perubahan sikap
yang mungkin dilakukan melalui cara integrasi dimana siswa diajarkan mengenai
materi tertentu, secara bertahap dapat menarik perhatian siswa, misalkan
seorang siswa yang diberikan pemahaman secara terus–menrus tentang pentingnya
shalat, secara bertahap muncul ketertarikan terhadap shalat, sehingga mau
melaksanakan shalat.
3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Terbentunya Sikap
Setiap
orang mempunyai sikap (attitude) yang berbeda-beda terhadap suatu perangsang
dikarenakan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi baik yang datang dari luar
(ekstern) maupun yang datang dari dalam diri sendiri (intern). Dua faktor ini
dapat dijelaskan sebagi berikut :
1)
Faktor intern, yaitu faktor yang terdapat pada
diri orang yang bersangkutan. Kita tidak dapat menangkap seluruh perangsang
dari luar melalui persepsi kita, oleh karena itu kita cendrung melakukan
seleksi atas rangsangan-rangsangan yang ada, mana yang akan didekati dan mana
yang harus dijahui. Pilihan ini ditentukan oleh faktor intern, sebab dalam
tindakan memilih seseorang terlebih dahulu menentukan apakah ia akan berdampak
positif atau negatif bagi kehidupannya.
2)
Faktor ekstern, selain faktor-faktor yang
terdapat dalam diri sendiri, maka pembentukan sikap ditentukan pula oleh
faktor-faktor yang berada dari luar, yaitu:
a. Sifat objek yang dijadikan sasaran sikap.
b. Kewibawaan orang yang mengemukakan suatu
sikap.
c. Sifat orang-orang atau kelompok yang
mendukung suatu sikap.
d. Media komikasi yang digunakan dalam
menyampaikan sikap.
e. Situasi pada saat sikap (attitude) itu di
bentuk. [8]
Perwujudan
atau terjadinya sikap seseorang itu dapat dipengaruhi oleh faktor pengetahuan,
kebiasan dan keyakinan. Karena itu untuk membentuk/membangkitkan suatu sikap
yang positif atau untuk menghilangkan suatu sikap yang negatif dapat dilakukan
dengan menginformasikan faedah atau kegunaan dengan membiasakan atau dengan
dasar keyakinan.[9]
Dalam
proses belajar menurut M Alisuf Sabri sikap berfungsi sebagai ”Dynamic
Force” yaitu sebagai kekuatan yang akan menggerakan orang untuk belajar. Jadi
siswa yang sikapanya negatif (menolak/tidak senang) kepada pelajaran/gurunya
tidak akan tergerak untuk mau belajar, sebaliknya siswa yang sikapnya positif
akan digerakan oleh sikapnya yang positif itu untuk mau belajar.[10]
Dengan demikian sikap sangat menentukan keberhasilan bagi sebuah
pendidikan, untuk itulah pendidik di sekolah harus mampu menumbuhkan
faktor-faktor yang mempengaruhi sikap itu sendiri, baik faktor ekstern maupun
faktor intern. Materi pelajaran, suasana belajar siswa dan guru harus mampu
mendorong sikap siswa kearah yang positif.
4.
Konsistensi Sikap Keberagamaan Siswa
Konsistensi berasal dari kata konsisten yang dalam kamus
besar bahasa Indonesia berarti (1) tetap (tidak berubah-ubah), taat asa, ajek
(2) selaras, sesuai. Sedangkan konsistensi yakni ketetapan, kemantapan (dalam bertindak) atau
ketaatasasan. [11]
Kata keberagamaan yang berasal dari kata “beragama”
mendapat tambahan ke-an berarti keadaan atau perihal sesuatu. Keberagamaan
adalah keadaan atau prihal beragama. Keberagamaan dapat dimaknai sebagai
perihal ketaatan seseorang individu yang menyakini suatu ajaran agama yang
tergambar jelas dalam segenap aspek kehidupan yang dijalaninya, baik hubungannya
dengan tuhan, manusia maupun lingkungannya. [12]
Sikap keberagamaan adalah perwujudan seorang penganut
agama menyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama yang
dianutnya dalam semua segi kehidupan yang dijalani dalam kehidupan sehari-hari.[13]
Sikap keagamaan merupakan suatu yang ada dalam diri
seseorang yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku yang berkaitan dengan
agama. Sikap keagamaan terbentuk karena adanya konsistensi antara kepercayaan
terhadap agama sebagai komponen kognitif
perasaan terhadap agama sebagai komponen afektif dan prilaku terhadap
agama sebagai komponen konatif. Di dalam sikap keagamaan antara komponen
kognitif, afektif dan konatif saling berintegrasi sesamanya secara komplek.[14]
Sejalan dengan pendapat Triandis sebagaimana dikutip
oleh Abd.Rachman Abror, sikap memperlihatkan tiga macam aspek atau komponen,
yang biasa diteliti secara terpisah atau bersama-sama. Ketiga aspek atau
komponen dimaksud, adalah:
1)
Kognitif yaitu mengenai gagasan atau
proposisi-proposisi yang menyatakan hubungan antara situasi dan obyek sikap.
2)
Afektif yaitu mengenai emosi atau perasaan yang
menyertai gagasan
Begitu pula pendapat yang dikemukan oleh Zakiah Daradjat yang dikutip oleh
jalaluddin dan Ramayulis, mengatakan bahwa “Sikap keagamaan merupakan perolehan
dan bukan bawaan. Ia terbentuk melalui pengalaman langsung yang terjadi dalam
hubungannya dengan unsur-unsur lingkungan materi dan sosial, misalnya rumah
yang tentram, orang tertentu, teman orang tua, jamaah dan sebagainya.”[16]
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
sikap keberagamaan merupakan sesuatu yang terdapat dalam diri seseorang yang
mendorong seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan agama yang dianutnya
setelah adanya pemahaman dan penghayatan serta keyakinan terhadap ajaran agama
yang dianutnya.
Dengan demikian seseorang penganut agama melakukan
atau tidak melakukan suatu ajaran agama didorong oleh adanya pemahaman,
penghayatan dan keyakinan terhadap ajaran agamanya. Semisalnya saja ketika
seorang yang muslim disuguhkan makanan yang diketahui mengandung daging babi di
dalamnya, akan cendrung menolak dan tidak memakan karena ia paham akan
keharaman daging babi dan keyakinan yang kuat bahwa kalau ia memakan akan
berdosa.
Kosistensi sikap keberagamaan sendiri dapat berarti
ketetapan, kamantapan (dalam bertindak) serta ketaatasasan dalam bertingkah
laku sesuai dengan ajaran agama, setelah ia paham dan menerima serta menyakini
ajaran agamanya.
Di dalam sekolah apabila Sikap keberagamaan yang
dimiliki siswa akan baik akan mendorongnya untuk mengamalkan ajaran agama Islam
secara sadar dan penuh dengan keikhlasan terutama pada remaja yang telah
memahami secara abstrak dari ajaran agama yang dianutnya.
Pada masa remaja Pertama (13 -16), atau masa usia
siswa telah memasuki sekolah menengah pertama, siswa telah mempunyai pemahaman
abstrak dari kenyataan yang dilihat atau didengarnya, maka sikap siswa terhadap
agama tidak menerima begitu saja, tanpa memahaminya.
Hal ini sebagaimana dikemukan oleh Zakiyah Darajat
yakni perkembangan kecerdasan remaja, telah sampai kepada mampu memahami hal yang abstrak pada umur 12 tahun dan mampu
mengambil kesimpulan yang abstrak dari kenyataan yang dilihat atau didengarnya, maka pendidikan agama tidak
akan diterimanya begitu saja tanpa memahaminya.[17]
Dengan demikian jelaslah peran sekolah dalam
membentuk sikap keberagamaan kepada siswa. Pengajaran guru akan membentuk sikap
keberagamaan siswa secara baik, manakala guru memperhatikan perkembangan sikap
keberagamaan siswa, jangan sampai siswa yang sering mempertanyakan tentang
ajaran agamanya tidak diakomodasi secara baik oleh guru, atau diabaikan
sehingga siswa tidak mendapatkan pemahaman mengenai agamanya. Dengan pengajaran
agama yang baik diharapkan konsistensi sikap keberagamaan siswa juga akan baik.
5.
Pendidikan agama untuk dihayati
Masalah
penghayatan (internalization) sesuatu hal biasa berlaku bukan hanya pada
pendidikan agama saja, tetapi pada semua aspek pendidikan, pada pendidikan
pra-sekolah, pendidikan sekolah, pendidikan tinggi dan sebagainya. Sebab adalah
terlalu dangkal kalau pendidikan
itu hanya ditujukan untuk memperoleh ilmu (knowledge) dan ketrampilan (skill)
saja, tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah penanaman sikap (attitude)
yang positif pada diri pendidik terhadap hal yang menjadi tumpuan pendidikan.[18]
Kemudian
agar agama itu benar-benar dapat dihayati, dipahami, dan digunakan sebagai
pedoman hidup bagi manusia, maka agama itu hendaknya menjadi unsur-unsur dalam
kepribadiannya. Hal itu dapat dilakukan dengan percontohan latihan-latihan
(pengalaman) dan pengertian tentang ajaran agama, jadi agama adalah amaliah dan
ilmiah sekaligus.[19]
Pendikan agama yang baik tidak hanya memberi manfaat
bagi siswa saja tetapi juga membawa dampak positif bagi lingkungan kelurga dan
masyarakat secara umum. Penghayatan, pemahaman dan menjadikan agama sebagai
pedoman hidup perlu didorong secara terus menerus agar yang menjadi tujuan dari
pendidikan agama dapat dicapai tidak hanya sebatas lulus dalam ujian atau
mendapatkan nilai baik.
Untuk itu perlu pengajaran yang menyentuh aspek
afektif dan psikomotorik siswa, tidak hanya aspek kognitif. Dengan demikian
Pendidikan Agama Islam ada manfaatnya dalam kehidupan keseharian siswa.
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-3145763305899807"
crossorigin="anonymous"></script>
DAFTAR PUSTAKA
ü Abd
Rachman Abror, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta:Tiara Wacana,1993),
cet. 4
ü Akyas Azhari, Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Taraju
Mizan, 2004), cet. 1
ü Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Suatu analisa Psikologi
dan Pendidikan
ü M.Alisuf
Sabri, Psikologi Pendidikan berdasarkan kurikulum Nasional (Jakarta:Pedoman
Ilmu Jaya,1996), cet. 2
ü Sarlito
Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi (Jakarta: Bulan Bintang, 2000)
ü Tim
Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia
ü Tohirin,
Psikologi Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam , (Jakarta: Raja Grafindo Persada , 2006).
ü Zainal
Mutaqin, Pengaruh Salat Tahajud terhadap Sikap Keberagamaan Siswa
ü Zainal
Mutaqin, Pengaruh Salat Tahajud terhadap Sikap Keberagamaan Siswa,
(Skripsi SI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri
Jakarta, 2009)
0 komentar:
Posting Komentar