1. Belajar
a. Pegertian Belajar
Belajar merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Belajar tidak hanya melibatkan
penguasaan suatu kemampuan atau masalah
akademik baru, tetapi juga perkembangan emosi, interaksi sosial, dan
perkembangan kepribadian. “Belajar adalah berusaha (berlatih dsb.) supaya
mendapat kepandaian”[1]. Belajar itu bukan hanya menghafal dan
mengingat, melainkan berinteraksi dengan lingkungannya. Dari sini, belajar
berarti suatu proses yang ditandai dengan perubahan pada diri seseorang, dengan
ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti bertambah pengetahuannya, bertambah
daya penerimaannya dan aspek-aspek lain yang ada pada individu.
“Kata belajar dalam pengertian
kata “mempelajari” berarti memperoleh pengetahuan melalui pengalaman dan
mempersiapkan secara langsung dengan indera. Adapun kata belajar dalam
pengertian kata “mengetahui” adalah untuk memiliki pemahaman praktis melalui
pengalaman dengan suatu hal[2].”
“Perlu
diketahui dalam pemakaian istilah belajar sekurang-kurangnya ada dua hal besar
yang dapat membedakannya, yaitu dalam pemakaian pertama: merujuk pada perubahan
prilaku, sedangkan pemakaian istilah kedua: merujuk pada bagaimana macam
keadaan internal yang diperkirakan mejadi dasar dari proses prilaku”[3].
Belajar selalau berkaitan
dengan perubahan-perubahan pada diri orang yang belajar. Perubahan ini bisa berupa pengetahuan, sikap atau
afeksi, maupun keterampilan. Unsur lain yang terkait dengan belajar adalah
pengalaman yang merupakan hasil dari interaksi individu dengan lingkungannya.
Kedua
unsur tersebut hampir selalau ditekankan dalam rumusan atau definisi tentang
belajar. Ngalim Purwanto dalam buku Psikologi Pendidikan mengemukakan
pendapat beberapa tokoh pendidikan mengenai pengertian belajar. Sebagai
berikut:
a.
Morgan dalam bukunya Introduction to Psychology
(1978) mengemukakan belajar adalah
perubahan yang relative menetap (menyatu dalam pribadi individu) dalam tingah
laku yang terjadi sebagai hasil dari latihan atau pengalaman.
b.
Witherington dalam bukunya Educatoin Psychology
mengemukakan bahwa belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang
menyatakan diri sebagai suatu pola baru
dari reaksi berupa kecakapan, sikap, kepandaian, kebiasaan, atau suatu
pengertian[4].
Dari kedua pengertian tersebut diatas
penulis dapat menyimpulkan:
a.
Belajar merupakan suatu proses untuk memperoleh
perubahan tingkah laku
b.
Dalam belajar terjadi perubahan tingkah laku yang
menetap dan menyatu dalam diri individu
c.
Hasil perubahan belajar itu karena disengaja.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, secara umum belajar dapat dipahami
bahwa belajar merupakan tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang
relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman dan interaksi dengan lingkungan
yang melibatkan proses kognitif. Sebenarnya keberagaman dalam mendefinisikan
makna belajar baik secara eksplisit maupun implisit, pada akhirnya memiliki
kesamaan makna. “Salah satu definisi yang nyaris disepakati para psikolog adalah
bahwa belajar merupakan sebuah proses perubahan prilaku atau pribadi
berdasarkan praktik atau pengalaman tertentu”[5].
Untuk mengetahui bahwa seseorang telah menjalani proses belajar dan telah
mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan dalam memiliki pengetahuan, penguasaan
materi, sikap dan keterampilan, maka dapat dilihat dari hasil belajar atau
prestasi belajar sebagai salah satu pengukurannya.
b.
Beberapa Teori Belajar
Ngalim Purwanto mengemukakan 3 (tiga) teori belajar yang merupakan hasil
penyelidikan para ahli psikolog, yaitu: teori Conditioning, teori
Connectionism, dan teori menurut psikologi Gestal.
- Teori Conditioning
Teori Conditioning ini dipelopori oleh Ivan Pavlov (1849-1936), seorang
fisiologi berkebangsaan Rusia. Menurut teori ini, belajar adalah suatu proses perubahan yang
terjadi karena adanya syarat-syarat (conditionis) yang kemudian menimbulkan
reaksi (response). Untuk menjadikan
seorang itu belajar haruslah kita berikan syarat-syarat tertentu. Yang
terpenting menurut teori conditionig
ialah adanya latihan-latihan yang kontinu. Yang diutamakan dalam teori
ini ialah hal belajar yang terjadi secara otomatis.
Penganut teori ini mengatakan
bahwa segala tingkah laku manusia juga tidak lain adalah hasil daripada
conditioning. Yakni hasil daripada latihan-latihan atau kebiasaan-kebiasaan mereaksi terhadap
syarat-syarat atau perangsang-perangsang tertentu yang dialaminya didalam
kehidupannya.
Kelemahan dari teori ini
ialah, teori ini menganggap bahwa belajar itu hanyalah terjadi secara otomatis;
keaktifan dan penentuan pribadi tidak dihiraukan. Peranan latihan/kebiasaan
terlalu ditonjolkan[6].
- Teori Connectionism (Thorndike)
Edward Thorndike (1874-1949) adalah salah seorang psikolog kebangsaan
Amerika. Ia merupakan orang pertama
yang melakukan eksperiment belajar dengan hewan. Menurut Thorndike
belajar itu melalui 2 (dua) proses:
a.
Trial and eror (mencoba dan mengalami
kegagalan), dan
b.
Law of effect,
yang berarti bahwa segala tingkah laku yang berakibatkan suatu keadaan
yang memuaskan (cocok dengan tuntunan situasi) akan diingat dan dipelajari dengan
sebaik-baiknya.
Sedangkan segala sesuatu yang berakibatkan tidak menyenangkan akan
dihilangkan atau dilupakannya. Tingkah laku ini terjadi secara otomatis.
Otomatis dalam belajar itu dapat dilihat dengan syarat-syarat tertentu, pada
binatang juga pada manusia[7].
Thorndike membuat suatu prinsip tentang belajar yaitu: belajar akan terjadi
jika respon mengandung efek tertentu terhadap lingkungan. Jika efek respon
menyenangkan, maka belajar terjadi. Jika efek respon tidak menyenangkan maka
prilaku belajar semakin melemah. Hukum efek menyebutkan bahwa belajar terdiri
dari penguatan hubungan antara satu situasi stimulus dan respon. Hubungan ini
akan diperkuat jika respon mengandung efek yang menghasilkan kepuasan atau akan
diperlemah jika respon mengandung efek yang tidak menyenangkan[8].
Kelemahan dari teori ini
ialah:
- Terlalu
memandang manusia sebagai mekanisme dan otomatisme belaka disamakan dengan
hewan. Meskipun banyak tingkah laku manusia yang otomatis, tetapi tidak
selalu bahwa tingkah laku manusia itu dapat dipengaruhi secara trial and
eror. Trial and eror tidak berlaku mutlak bagi manusia
- Memandang
belajar hanya merupakan asosiasi belaka antara stimulus dan respon.
Sehingga yang yang dipentingkan dalam belajar ialah memperkuat asosiasi
tersebut dengan latihan-latihan, atau ulangan-ulangan yang terus menerus.
- Karena
belajar berlangsung secara mekanis, maka “pengertian” tidak dipandang
sesuatu yang pokok dalam belajar. Mereka mengabaikan “pengertian”
sebagai unsur yang pokok dalam belajar[9].
3.
Teori menurut Psikologi Gestal
Teori ini sering kali disebut field theory atau insting full
learning. Menurut para ahli psikologi Gestal, manusia itu bukanlah sekedar
makhluk reaksi yang hanya berbuat atau beraksi jika ada perangsang yang
mempengaruhinya. Manusia itu adalah individu yang merupakan kebulatan
jasmani-rohani. Sebagai individu manusia berinteraksi dengan dunia luar dengan
kepribadiannya dan dengan cara yang unik pula.
Dengan demikian maka belajar menurut psikologi Gestal bukan hanya sekedar
merupakan proses asosiasi antara stimulus-respon yang makin lama makin kuat
karena adanya latihan-latihan atau ulangan-ulangan. Belajar menurut psikologi
Gestal terjadi jika ada pengertian (insting). Pengertian atau insting ini
muncul apabila seseorang setelah beberapa saat mencoba memahami suatu masalah,
tiba-tiba muncul adanya kejelasan, terlihat olehnya hubungan adanya unsur-unsur
yang satu dengan yang lain, kemudian dipahami sangkut pautnya; dimengerti
maknanya.
Dengan singkat belajar menurut
psikologi Gestal dapat diterapkan sebagai berikut:
Pertama, dalam belajar faktor pemahaman atau
pengertian (insting) merupakan faktor penting. Dengan belajar dapat
memahami/mengerti hubungan antara pengetahuan dengan pengalaman.
Kedua, dalam belajar, pribadi atau organisme
memegang peranan yang paling sentral. Belajar tidak hanya dilakukan secara
reaktif-mekanistis belaka, tetapi dilakukan dengan sadar, bermotif dan
bertujuan[10].
c.
Jenis-Jenias Belajar
Ada beberapa jenis kegiatan yang terdapat dalam proses belajar. Kegiatan
ini memiliki corak yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, baik dalam
aspek materi dan metodenya maupun aspek tujuan dan perubahan tingkah laku yang
diharapkan. Keanekaragaman jenis belajar ini muncul dalam dunia pendidikan
sejalan dengan kebutuhan manusia yang juga bermacam-macam.
Fadilah Suralaga dkk. dalam buku Psikologi Pendidikan Dalam Perspektif
Islam membedakan jenis belajar menjadi 8, diantaranya:
- Belajar Abstrak
Jenis belajar ini merupakan kegiatan yang menggunakan cara berfikir
abstrak, yang bertujuan untuk memperoleh pemahaman dan pemecahan
masalah-masalah yang tidak nyata. Untuk mempelajari hal-hal yang abstrak ini
diperlukan prinsip, konsep dan generalisasi seperti belajar matematika, kimia,
tauhid dan sebagainya.
- Belajar Keterampilan
Jenis belajar yang satu ini menggunakan gerakan-gerakan motorik yakni
berhubungan urat-urat saraf dan neuromuscular dengan tujuan untuk memperoleh
dan menguasai keterampilan jasmaniah tertentu. Untuk memperoleh hasil yang
maksimal, maka belajar keterampilan membutuhkan latihan-latihan yang intensif
dan teratur.
- Belajar Sosial
Pada dasarnya belajar sosial ini belajar untuk memahami masalah-masalah
dan teknik-teknik untuk memecahkan masalah tersebut. Tujuannya untuk menguasai
pemahaman dan kecakapan dalam memecahkan masalah-msalah lain yang bersifat
kemasyarakatan
- Belajar Pemecahan Masalah
Belajar pemecahan masalah merupakan belajar yang menggunakan
metode-metode ilmiah atau berfikir secara sistematis, logis, teratur dan
teliti. Tujuannya adalah untuk memperoleh kemampuan dan kecakapan kognitif
untuk memecahkan masalah secara rasional, lugas, dan tuntas.
- Belajar Rasional
Belajar rasional adalah belajar dengan menggunakan kemampuan berfikir
secara logis dan rasional (sesuai dengan akal sehat). Tujuannya adalah untuk memperoleh aneka ragam
kecakapan menggunakan prinsip-prinsip dan konsep-konsep.
- Belajar Kebiasaan
Belajar kebiasaan adalah proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau
perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Belajar kebiasaan, selain
menggunakan perintah, suritauladan, dan pengalaman khusus, juga menggunakan
hukuman dan ganjaran.
- Belajar Apresiasi
Belajar aspirasi adalah mempertimbangkan (judgement) arti penting atau
nilai suatu objek. Tujuannya adalah agar siswa memperoleh dan mengembangkan
kecakapan ranah rasa (affective skill) yang dalam hal ini kemampuan menghargai
secara tepat terhadap nilai objek tertentu misalnya apresiasi sastra, apresiasi
musik, dan sebagainya.
- Belajar Pengetahuan
Belajar pengetahuan (Knowledge) ialah belajar dengan cara melakukan
penyelidikan mendalam terhadap objek pengetahuan tertentulis[11].
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-3145763305899807"
crossorigin="anonymous"></script>
DAFTAR PUSTAKA
Akyas Azhari, Psikologi Umum Dan Perkembangan, (Jakarta: Teraju PT. Mizan Publik, 2004), Cet. I.
Fadilah Suralaga, Dkk., Psikologi Pendidikan Dalam Perspektif Islam,
(UIN Jkt. Press, 2005), Cet. I.
Netty Hartati, Dkk. Islam Dan…,
h. 57.
Netty Hartati, Dkk. Islam Dan Psikologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004), Cet. I
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung, PT. Remaja Rosda
Karya, 1995)
Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan, Kamu Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1984),
Cet. I
[1] Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa,
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamu Umum Bahasa Indonesia,
(Jakarta, Balai Pustaka, 1984), Cet. I, h. 108.
[2] Netty Hartati, Dkk. Islam Dan
Psikologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. I, h. 55.
[5] Akyas Azhari, Psikologi Umum Dan
Perkembangan, (Jakarta: Teraju PT. Mizan Publik, 2004), Cet. I, h. 122.
[11] Fadilah Suralaga, Dkk., Psikologi
Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (UIN Jkt. Press, 2005), Cet. I, h.
81-83.
0 komentar:
Posting Komentar