Rabu, 31 Agustus 2016

KETELADANAN ORANG TUA SEBAGAI PENDIDIK YANG PERTAMA DAN UTAMA

KETELADANAN ORANG TUA SEBAGAI PENDIDIK YANG PERTAMA DAN UTAMA
A.    Pengertian Keteladanan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, bahwa “keteladanan” dasar katanya “teladan” yaitu Perbuatan dan sikap yang patut ditiru atau dicontoh[1]. Oleh karena itu “Keteladanan” adalah hal-hal yang dapat ditiru atau dicontoh. Dalam Bahasa Arab “Keteladanan” diungkapkan dengan kata “Uswah” dan “Qudwah”[2].
‘Al-Uswah” sebagaimana kata “Al-Qudwah”  berarti suatu keadaan ketika seorang manusia mengikuti manusia lain, apakah dalam kebaikan, kejelekan, kejahatan, atau kemurtadan. Sebagaimana yang dikutip oleh Armai Arif, Ibnu Zakaria mensinonimkan “Uswah” dengan ”Qudwah” yang artinya ikutan, mengikuti yang diikuti. Dengan demikian keteladanan adalah hal-hal yang dapat ditiru atau dicontoh oleh seseorang dari orang lain. Namun keteladanan yang dimaksud di sini adalah keteladanan yang dapat dijadikan alat pendidikan Islam yaitu keteladanan yang baik[3].
Kata ”Uswah” di dalam Al-Qur’an diulang sebanyak enam kali dengan mengambil sampel pada diri para Nabi yaitu Nabi Muhammad SAW., Nabi Ibrahim, dan kaum yang beriman teguh kepada Allah Swt. Metode keteladanan dianggap penting karena aspek agama yang terpenting adalah akhlak yang termasuk dalam kawasan efektif yang terwujud dalam bentuk tingkah laku[4].
Hery Noer Aly memberikan definisi “Pendidikan dengan teladan berarti pendidikan dengan memberi contoh, baik hanya tingkah laku, sifat, cara berfikir, dan sebagainya. Banyak ahli pendidikan yang berpendapat bahwa pendidikan dengan teladan merupakan metode yang paling berhasil guna”[5].
Keteladanan merupakan sarana pendidikan yang paling penting. Hal ini terjadi karena secara naluriah dalam diri anak ada potensi untuk meniru hal-hal yang ada di sekitarnya[6].
Jadi, keteladanan adalah hal-hal yang dapat ditiru atau dicontoh oleh  seseorang dari orang lain, baik dalam bentuk perbuatan ataupun ucapan, kemudian dipraktekannya sesuai dengan apa yang dilihat. Oleh karena itu, keteladanan yang harus diterapkan adalah keteladanan yang baik.

B.  Orang Tua sebagai Pendidik yang Pertama dan Utama
Keluarga memiliki peranan penting dalam pendidikan, keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang pertama di mana ia mendapatkan pengaruh dari anggota keluarga, masa yang amat penting dalam pendidikan anak, yatu tahun-tahun pertama dalam kehidupan pra sekolah. Keluarga juga mempunyai peranan besar dalam pembangunan masyarakat, karena keluarga merupakan batu pondasi bangunan masyarakat yang mana orang tua merupakan aktor yang sangat berpengaruh terhadap pendidikan anak.
Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam keluarga. Sebagai mana Syaikh Abu Hamid Al-Ghazali menjelaskan Bahwa “anak kecil merupakan amanat bagi orang tuanya. Hatinya masih suci merupakan permata alami yang bersih dari pahatan dan bentukan, dia siap diberi pahatan apapun yang condong kepada apa saja yang disodorkan kepadanya, jika dibiasakan dan diajarkan kebaikan dia akan tumbuh dalam kebaikan, dan berbahagialah kedua orang tuanya di dunia dan di akhirat, juga setiap pendidik dan gurunya. Namun bila dibiasakan kejelekan dan dibiarkan sebagaimana binatang ternak, niscaya akan menjadi jahat dan binasa. Dosanya pun akan ditanggung oleh pengurus dan walinya. Maka hendaklah orang tua memelihara, mendidik dan membina serta mengajarinya akhlak yang baik, menjaganya dari teman-teman jahat, tidak membiasakan bersenang-senang dan tidak pula menjadikannya suka keoada kemewahan, sehingga akan menghabiskan umurnya untuk mencari hal tersebut bila dewasa”[7].
Pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga itu bukan berpangkal tolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak[8].
Pendidikan anak hendaknya tidak didasarkan atas tekanan atau sejumlah bentuk kekerasan dan paksaan, karena pola pendidikan seperti itu hanya akan membawa kepada pertentangan antara orang tua dengan anak-anak. Jika anak merasa disayangi dan diterima sebagai teman dalam proses pendidikan dan pengembangan mereka, maka anak akan merasa bahwa mereka adalah bagian dari keluarga.
 Orang tua adalah orang-orang yang sudah dewasa, sebagai orang-orang yang telah dewasa, maka orang tua harus bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya. Orang tua tidak hanya bbertanggung jawab pemeliharaan anak saja, melainkan orang tua juga bertangung jawab pada pendidikan anak-anaknya[9].
Rosulullah Saw Bersabda :
عن الاسود ابن شريح ابو يعلى ان النبى . ص.م. قال : كل مو لود يولد على الفطرة حتى يعرب عنه لسانه فابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه)رواه ابو داود و الطبرنى و بيهقى(

“Dari ASwad Ibnu Sari’ Abu Ya’la, Sesungguhnya Nabi Bersabda: Semua anak dilahirkan atas fitrah sehingga ia jelas berbicara, maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi yahudi, nasrani atau majusi” (H.R. Abu Daud, Thabrani dan Baihaqi)[10].

“Orang tua termasuk pendidik yang terutama atau primer, karena dengan kesadaran yang menndalam serta didasari rasa cinta dan kasih sayang yang mendalam pula orang tua mengasuh atau mendidik anaknya dengan penuh tanggung jawab dan kesabaran. Lagi pula sebagian besar anak-anak adalah bersama-sama orang tuanya. Dengan dasar ini maka pendidik yang lain masuk nomor dua”[11].
Bila keluarga, jalan sekolah dan masyarakat merupakan sendi-sendi pendidikan yang fundamental, maka keluarga merupakan pemberi pengaruh pertama. Keluarga lebih kuat daripada semua sendi-sendi itu. Sebab sejak awak masa kehidupannya, sang anak menerima pengaruh dari keluarga dan waktu yang dihabiskannya di lingkungan keluarga lebih banyak daripada tempat-tempat lain. Disamping itu kedua orang tua lebih banyak berpengaruh terhadap anak.
Esensi peranan keluarga menjadi jelas selagi kita tahu bahwa dasar-dasr tingkah laku sosial didirikan di rumah. Tingkah sosial ini tetap ada sepanjang umur manusia dan menjadi salah satu karakter yang tetap. Pendidikan modern menekankan esensi pengetahuan dasar dan pengaruhnya bagi anak-anak dalam membedakan kecenderungan, trend dan corak tingkah lakunya. Apa yang terjadi pada anak-anak masa kanak-kanak awal ini akan membentuk karakter fundamental di masa mendatang.
Keharmonisan keluarga dan keserasian antara bapak dan ibu juga berpengaruh besar terhadap tingkah laku anak, sikap, intelektualitas dan nilai pelajaran sekolahnya. Sebagian orang ada pula yang dapat dirusak karena pengaruh teman-teman yang buruk selama masa tertentu. Tapi kemudian mereka dapat menjadi baik kembali. Latar belakangnya, karena nilai yang sudah ditanamkan keluarga sejak kecil dapat mengalahkan pengaruh teman-temannya yang buruk dan mengembalikannya kepada karakter tang membentuknya sejak kecil[12].
Adapun yang dikatakan dewasa ialah bila anak itu sudah mencapai umur tertentu menurut ukuran umum disuatu daerah tertentu dan mempunyai kesiapan mental dan rohani.
Rosulullah Saw Bersabda:
عن ابن عمر قال : قال رسول الله ص.م. مروا اولادكم باالصلاة اذا بلغوا سبعا واضربوهم عليها اذا بلغوا عشرا وفرقوا بينهم في المضاجع ) رواه ابوى داود والحاكم(

Dari Ibnu Umar berkata Rasulullah Saw. Bersabda : “Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukulah mereka jika tidak mau mengerjakan shalat ketika mereka telah berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka. (H.R. Abu Daud dan Hakim)”[13].
Pendidikan pada dasarnya merupakan tanggung jawab orang tua dan guru. Oleh karena, itu mutlak perlunya hubungan baik antara guru dan orang tua murid. Tetapi yang lebih penting, para orang tua harus sadar bahwa tugas memberi pendidikan kepada anak-anaknya memang tugas utama mereka, tak bisa dilimpahkan begitu saja kepada pihak sekolah.
Secara umum dikatakan bahwa melalui pendidikan akan tercapai kepribadian yang sempurna dalam kehidupan, karena pendidikan itu bagian dari beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan kepribadian sebagaimana yang dikemukakan oleh Sidi Gazalga yaitu: ”Kepribadian pada hakekatnya dibentuk oleh pendidikan”[14]. Dengan kata lain bahwa kepribadian itu dapat dibentuk oleh pendidikan, atau pendidikan memiliki peranan penting dalam membentuk kepribadian.   
Keteladanan dalam pendidikan anak merupakan suatu hal yang sangat diperlukan karena terbukti ampuh dan paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak. Demikian itu dijelaskan oleh Maulana Musa Ahmad Olgar bahwa ”Mendidik anak dengan memberikan nasehat yang terlalu sering dan banyak, sering kali menyebabkan anak menjadi bosan sehingga lambat laun nasihat yang diberikan kehilangan makna. Cara terbaik agar anak belajar hal-hal yang orang tua inginkan adalah dengan mengamalkannya terlebih dahulu. Sehingga mereka akan dengan mudah dan dengan sendirinya meniru apa yang orang tua kerjakan”[15]. Oleh karena itu, masalah keteladanan menjadi faktor penting dalam menentukan baik buruknya anak. Jika orang tuanya jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia, berani dan menjauhkan diri dari perbuatan–perbuatan yang bertentangan dengan agama, maka si anak akan tumbuh dalam kejujuran terbentuk dengan akhlak mulia dan menjauhkan diri dari perbuatan–perbuatan yang bertentangan dengan agama. Begitu pula sebaliknya jika orang tua seorang pembohong, penghianat, orang yang kikir, penakut dan hina maka si anak akan tumbuh dalam kebohongan, khianat, durhaka, kikir, penakut dan hina.
Anak adalah amanah dari Allah Swt. Orang tua sebagai pengembang amanat berkewajiban untuk memelihara  kelangsungan hidup anak, karena anak sebagai spesies adolescentiae yaitu masih memiliki sifat yang tidak berdaya, masih menggantung diri pada orang tua tetapi dilain pihak anak sebagai calon orang dewasa yang di dalamnya terdapat kekuatan, dorongan juga terdapat naluri untuk mengembangkan diri menuju dewasa.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan  bahwa orang tua sebagai pendidik pertama dan utama tidak bisa menghindarkan diri sebagai pemikul utama penanggung jawab pendidik anak. Lembaga pra sekolah dan sekolah hanya sebagai partner pembantu. Orang tua pula yang nantinya dapat membentuk kepribadian anak melalui pendidikan dan dengan teladanlah orang tua secara praktis mendidik anak, yang merupakan cara terbaik dalam mendidik dan merupakan cara yang paling ampuh (dikatakan berhasil) dalam dunia pendidikan.










DAFTAR PUSTAKA
ü  Abdullah Nasikh Ulwan, Penterjemah: Kathur Suhardi, Membentuk Karakteristik Generasi Muda, (Solo: CV. Pustaka Mantik, 1989), h. 14.
ü  Adnan Hasan Shalih Baharits, Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-Laki, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996) Cet. I, hal. 54.
ü  Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pres, 2002), Cet. I, h. 117.
ü  Departeen Pendidikan dan Kebuyaan, Kamus Besar Bahasa Indoneia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Edisi: ke-2, Cet. IV, h. 1025.
ü  H. Abudin Nata, Filsafat pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997) Cet. I, hal. 95.
ü  Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos, 1999), Cet. I, h. 178.
ü  Imam Abdurahman Jalauddin, AS-Suyuti, Al-Jamlu, (Beirut: Darul Fikiri, 911 H), Jilid 2, h, 535.
ü  Khalid Ahmad Asy-Syantuh, Pendidikan Anak Putri dalam Keluarga Muslim, (Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 1993), Cet. I h.40, 44-45.
ü  Maulana Musa Ahmad Olgar, Tips Mendidik anak bagi orang tua Muslim, (Yogyakarta: Citra Media, 2006) Cet. I,  h. 136.
ü  Prof. H. Mahmud Junus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta, PT. Hidakarya Agung, 1989), Cet. I, h. 42
ü  Sayid Ahnad Al-Hasyimi, Mukhtar Al-Hadist Al-Nabawiyah, (Semarang, PT. MG Usaha keluarga Semarang) , Cet. XXII, h. 112.
ü  Sidi Gazalga, Pendidikan amat Manusia, (yakarta: PT. Gharata, 1970), h. 25.
ü  Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta.: Andi Offset, 1989), Cet. XII, h. 61.
ü  Yusuf Muhammad Al Hasan, Pendidikan Anak dalam islam, (Jakarta: Daruul Haq, 1998), Cet.I, h. 11.
ü  Zakiah darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. III, h.36.




[1] Departeen Pendidikan dan Kebuyaan, Kamus Besar Bahasa Indoneia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Edisi: ke-2, Cet. IV, h. 1025.
[2] Prof. H. Mahmud Junus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta, PT. Hidakarya Agung, 1989), Cet. I, h. 42
[3] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pres, 2002), Cet. I, h. 117.
[4] H. Abudin Nata, Filsafat pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997) Cet. I, hal. 95.
[5] Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos, 1999), Cet. I, h. 178.
[6] Adnan Hasan Shalih Baharits, Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-Laki, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996) Cet. I, hal. 54.
[7] Yusuf Muhammad Al Hasan, Pendidikan Anak dalam islam, (Jakarta: Daruul Haq, 1998), Cet.I, h. 11.
[8] Zakiah darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. III, h.36.
[9] Abdullah Nasikh Ulwan, Penterjemah: Kathur Suhardi, Membentuk Karakteristik Generasi Muda, (Solo: CV. Pustaka Mantik, 1989), h. 14.
[10] Sayid Ahnad Al-Hasyimi, Mukhtar Al-Hadist Al-Nabawiyah, (Semarang, PT. MG Usaha keluarga Semarang) , Cet. XXII, h. 112.
[11] Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta.: Andi Offset, 1989), Cet. XII, h. 61.
[12] Khalid Ahmad Asy-Syantuh, Pendidikan Anak Putri dalam Keluarga Muslim, (Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 1993), Cet. I h.40, 44-45.
[13] Imam Abdurahman Jalauddin, AS-Suyuti, Al-Jamlu, (Beirut: Darul Fikiri, 911 H), Jilid 2, h, 535.
[14] Sidi Gazalga, Pendidikan amat Manusia, (yakarta: PT. Gharata, 1970), h. 25.
[15] Maulana Musa Ahmad Olgar, Tips Mendidik anak bagi orang tua Muslim, (Yogyakarta: Citra Media, 2006) Cet. I,  h. 136. 
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © MAHSUN DOT NET