1. Dzâwil Furûd
Ashhâbul
Furûd adalah ahli waris yang
sudah ditentukan di dalam al-Qur’an, yakni ahli waris langsung yang mesti
selalu mendapat bagian tetap tertentu yang tidak berubah-ubah.[1]
Adapun Ashhâbul
Furûd atau furûdul muqaddarah yang Allah swt sebutkan dalam al-Qur’an ada enam macam,
yaitu: 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, 1/6.
a. Bagian ½
Ahli waris yang
berhak mendapat bagian ½ terdiri atas lima orang, yaitu:
1) Suami,
Dengan syarat tidak ada Far’ul
Mayit, jika bersamaan dengannya maka bagian suami menjadi 1/4
2) Seorang anak perempuan (pr), dengan syarat:
a) Tidak ada anak laki-laki (lk),
Jika bersamaan dengan anak laki-laki,
maka bagiannya menjadi ashabah bil ghair
b) Tidak ada mumatsil
Jika ada, maka bagiannya menjadi 2/3
3) Cucu pr dari anak laki-laki (lk), dengan syarat:
a) Tidak ada anak laki-laki
Jika ada anak laki-laki, maka
terhijab
b) Tidak ada anak perempuan
c) Tidaka ada mumatsil
d) Tidak ada mu’ashib
4) Saudara perempuan sekandung, dengan syarat:
a) Tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki / bapak
b) Tidak ada kakek dari bapak
c) Tidak ada anak perempuan, cucu perempuan /
keduanya
d) Tidak ada mumatsil
e) Tidak ada mu’ashib
5) Saudara perempuan sebapak, dengan syarat:
a) Tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki / bapak
b) Tidak ada kakek dari bapak
c) Tidak ada anak perempuan, cucu perempuan/
keduanya
d) Tidak ada saudara laki-laki sekandung
e) Tidak ada saudara perempuan sekandung
f) Tidak ada saudara perempuan sekandung yang
mendapat ashabah ma’al ghair
g) Tidak ada mumatsil
h) Tidak ada mu’ashib
b. Bagian ¼
Ahli waris yang
berhak mendapat bagian ¼ terdiri atas dua orang, yaitu:
1) Suami, dengan syarat :
Bersama Far’ul Mayit, jika
tidak ada maka bagiannya 1/2
2) Istri, dengan syarat:
Tidak ada Far’ul Mayit, jika
bersamanya, maka bagiannya 1/8
c. Bagian 1/8
Ahli waris yang
berhak mendapat bagian 1/8 ini ada satu, yaitu:
Istri, dengan syarat:
Ada/ bersama Far’ul Mayit,
jika tidak bersama, maka bagiannya ¼
d. Bagian 2/3
Ahli waris yang
berhak mendapat bagian 2/3 terdiri atas empat orang, yaitu:
1) 2 atau lebih anak perempuan, dengan sayarat:
a) Tidak ada anak laki-laki, jika bersamaan maka
bagiannya menjadi ashabah bil ghair
b) Ada mumatsil, jika sendiri maka bagiannya ½
2) 2 atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki, dengan syarat:
a) Tidak ada anak laki-laki
b) Tidak ada anak perempuan
c) Ada mumatsil
d) Tidak ada mu’ashib
3) 2 atau lebih saudara perempuan sekandung, dengan syarat:
a) Tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki / bapak
b) Tidak ada kakek dari bapak
c) Tidak ada anak perempuan, cucu perempuan/
keduanya
d) Ada mumatsil
e) Tidak ada mu’ashib
4) 2 atau lebih saudara perempuan sebapak, dengan syarat:
a) Tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki / bapak
b) Tidak ada kakek dari bapak
c) Tidak ada anak perempuan, cucu perempuan/
keduanya
d) Tidak ada saudara laki-laki sekandung
e) Tidak ada saudara perempuan sekandung
f) Tidak ada saudara perempuan sekandung yang
mendapat ashabah ma’al ghair
g) Ada mumatsil
h) Tidak ada mu’ashib, jika ada maka bagiannya ashabah
bil ghair
e. Bagian 1/3
Ahli waris yang
berhak menerima bagian 1/3 ini ada dua, yaitu:
1) Ibu,
dengan syarat:
a) Tidak ada Far’ul Mayit, jika bersamaan,
maka bagiannya 1/6
b) Tidak ada ‘adad ikhwah, jika ada maka bagiannya
1/6
2) 2 atau lebih saudara seibu, dengan syarat:
a) Tidak ada Far’ul Mayit, bapak, dan kakek,
jika bersama salah satu dari mereka, maka terhijab
b) Harus 2 orang/ lebih (ada mumatsil)
f. Bagian 1/6
Ahli waris yang
berhak mendapat bagian 1/6 ini ada tujuh orang, yaitu:
1) Bapak, dengan syarat:
a) Ada Far’ul Mayit
1. Far’ul Mayit laki-laki maka bagiannya 1/6
2. Far’ul Mayit perempuan maka bagiannya 1/6 + sisa
b) Jika tidak ada Far’ul Mayit maka menjadi ashabah bi al-Nafsi
2) Ibu, dengan syarat:
a) Ada Far’ul Mayit, jika tidak
ada maka bagiannya 1/3
b) Ada ‘adad ikhwah, jika tidak ada maka
bagiannya 1/3
3) Kakek, dengan syarat:
a) Tidak ada bapak, jika bersamaan bapak maka
menjadi terhijab
b) Ada Far’ul Mayit
1. Far’ul Mayit laki-laki = 1/6
2. Far’ul Mayit perempuan = 1/6 + sisa
Jika tidak ada Far’ul Mayit, maka menjadi Ashabah
bi al-Nafsi
4) Cucu perempuan, dengan syarat:
a) Tidak ada anak lk, jika bersamanya maka
menjadi terhijab
b) Ada anak perempuan
c) Ada mumatsil
d) Tidak ada mu’ashib
5) Saudara perempuan sekandung, dengan syarat:
a) Tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki /
bapak. Jika bersama salah satunya maka menjadi terhijab
b) Tidak ada kakek dari bapak
c) Tidak ada anak perempuan, cucu perempuan/
keduanya. Jika bersamanya maka menjadi Ashabah ma’al ghair
d) Tidak ada saudara laki-laki sekandung,
jika ada maka menjadi terhijab
e) Harus bersama saudara perempuan sekandung,
dengan catatan:
1. Bila 1 orang, maka bagiannya 1/6
2. Bila 2 orang/ lebih, maka terhijab
3. Kecuali ada mu’ahsib, maka menjadi Ahabah
bil Ghair
f) Tidak ada saudara perempuan sekandung yang
mendapat Ashabah ma’al Ghair, jika ada maka menjadi terhijab
g) Ada mumatsil
h) Tidak ada mu’ashib
6) Nenek, dengan syarat:
a) Tidak ada ibu, jika ada ibu maka terhijab
b) (khusus nenek dari bapak) + tidak ada
bapak, jika ada maka terhijab
7) 1 saudara (perempuan atau laki-laki) seibu,
dengan syarat:
a) Tidak ada Far’ul Mayit, bapak, dan kakek. Jika ada dari mereka, maka
terhijab
b) Seorang/ sendiri (tidak ada mumatsil)
2. Dzâwil ‘Ashabah
Ashhâbul
‘Ashabah / Dzâwil ‘Ashabah yaitu
golongan ahli waris yang bagian haknya tidak tertentu, tetapi mendapatkan
ushubah (sisa) dari ashhâbul
furûd atau mendapatkan semuanya jika tidak ada ashhâbul furûd.[2]
Ashabah dalam
bahasa Arab berarti anak lelaki dan kaum kerabat dari pihak bapak.[3]
Sedangkan menurut al-Yasa Abubakar dalam bukunya Ahli waris sepertalian
darah, menyabutkan bahwa dalam istilah kewarisan, ‘ashabah adalah
orang-orang yang mengambil semua harta sekiranya sendirian atau yang mengambil
sisa setelah dikeluarkan zawi al- furûd.[4]
Para ulama
membedakannya (‘ashabah) kepada tiga jenis, yaitu: ‘ashabah bi al-nafs,
‘ashabah bi al-ghair dan ‘ashabah ma’a al-ghair yang pengertiannya
sebagai berikut:
a. ‘Ashabah bi al-Nafsi
‘Ashabah bi
al-nafsi; adalah orang laki-laki yang
dihubungkan melalui garis laki-laki kepada pewaris, yatu anak laiki-laki dan
keturunan laki-laki betapapun jauhnya, ayah dan kakek satu garis lurus ke atas,
saudara laki-laki (kandung dan seayah) dan keturunan laki-lakinya, serta
kerabat garis sisi kedua (saudara laki-laki kandung atau seayah dari ayah) dan
keturunannya.[5]
Adapun Ahli waris
‘Ashabah bi al-nafs tersebut ada 13 yang semuanya laki-laki, kecuali mu’tiqah
(perempuan yang memerdekakan hamba sahaya), yaitu:[6]
1) Anak laki-laki
2) Cucu laki-laki dari garis laki-laki
3) Bapak
4) Kakek dari garis bapak
5) Saudara laki-laki sekandung
6) Saudara laki-laki seayah/ sebapak
7) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
9) Paman sekandung
10) Paman seayah
11) Anak laki-laki dari paman sekandung
12) Anak laki-laki dari paman seayah
13) Mu’tiq dan atau mu’tiqah (orang yang
memerdekakan)
b. ‘Ashabah bi al-Ghair
‘Ashabah bi
al-ghair; mereka ini adalah anak (keturunan) perempuan dan saudara perempuan
(kandung atau seayah) apabila didampingi oleh ‘ashabah bi al-nafs yang
sederajat. Dengan kata lain mereka ini adalah zawi al-furûd yang dialihkan menjadi ‘ashabah karena ada ahli
waris laki-laki yang sederajat dengannya. Mereka akan membagi warisan dengan
perimbangan dua banding satu antara laki-laki dan perempuan.[7]
Ahli waris
‘Ashabah bi al-ghair ini ada 4, yaitu:[8]
1) Anak perempuan bersama-sama anak laki-laki
2) Cucu perempian garis laki-laki bersama-sama cucu
laki-laki garis laki-laki
3) Saudara perempuan sekandung bersama dengan
saudara laki-laki sekandung
4) Saudara perempuan seayah bersama dengan saudara
laki-laki seayah
c. ‘Ashabah ma’a al-Ghair
‘Ashabah ma’a
al-ghair; mereka adalah saudara perempuan kandung atau seayah apabila mewarisi
bersama-sama dengan anak (keturunan) perempuan. Disebut ma’a al-ghair karena
untuk menjadi ‘ashabah, dia perlu kepada orang lain (anak perempuan), tetapi
tidak dapat menarik orang tersebut untuk menjadi ‘ashabah pula.[9]
‘Ashabah ma’a
al-ghair ini diterima ahli waris:[10]
1) Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih)
karena bersama dengan anak perempuan (seorang atau lebih), atau bersama dengan
cucu perempuan garis laki-laki (seorang atau lebih).
2) Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih)
karena bersama dengan anak perempuan (seorang atau lebih )atau cucu perempuan
garis laki-laki (seorang atau lebih)
3. Dzâwil Arhâm
Secara harfiyah,
istilah ini berarti orang yang mempunyai hubungan darah. Menurut Muhammad Thaha
Abul Ela Khalifah dalam bukunya yang berjudul Hukum Waris, mengatakan bahwa dzâwil arhâm adalah keluarga yang tidak memiliki hak waris menurut furûd
dan bukan termasuk ashabah. Dengan kata lain, mereka yang tidak termasuk ashhâbul furûd dan tidak termasuk
ashabah.[11]
Sedangkan menurut
pengertian lain, ashhâbul arhâm / dzâwil arhâm adalah golongan kerabat yang tidak termasuk ashhâbul furûd dan ashhâbul ‘ashabah, kerabat golongan ini baru mewaris
jika tidak ada kerabat yang termasuk kedua golongan di atas.[12]
A. Cara Penghitungan Warisan
Sebelum
memulai pembagian harta warisan, lebih dulu harus diidemtifikasikan mana yang
menjadi dzâwil furûd, ‘ashabah, dan dzâwil arhâm, terus ditentukan siapa yang terhijab
atau terhalang, menentukan bagian masing-masing dzâwil furûd, dan baru ditetapkan angka asal masalah, yaitu
mencari angka (kelipatan persekutuan) terkecil yang dapat dibagi oleh masing-masing
angka penyebut dari bagian ahli waris guna memudahkan dalam operasional
hitungan. Misalnya bagian ahli waris 1/2 dan 1/3, angka asal masalahnya
(KPK) adalah 6 karena 6 dapat dibagi 2 dan 3 (penyebutnya). Bagian ahli waris
1/4, 2/3, 1/6, 1/4 angka asal masalahnya adalah 12 karena angka 12 dapat dibagi
2, 3, dan 6. Bagian ahli waris 1/8 dan 2/3, angka masalahnya 24 karena angka 24
dapat dibagi 8 dan 3. Demikian seterusnya.
Jika seseorang
meninggal dunia, kemudian ada ahli waris yang mendapat 1/6 bagian, dan
seorang lagi mendapat 1/4 bagian, maka pertama-tama harus dicari KPK (kelipatan
persekutuan terkecil) dari pembilang 6 dan 4, yaitu bilangan 12. Didalam ilmu
faraid, KPK disebut asal masalah.
Asal masalah dalam ilmu faraid/ mawaris ada 7
macam, yaitu 2, 3, 4, 6, 8, 12, dan 24.
Contoh kasus
Ada seseorang perempuan meninggal dunia, ahli warisnya
adalah bapak, ibu, suami, dua anak laki-laki, dan satu anak perempuan. Harta
peninggalannya sebanyak Rp 1.800.000. Berapakah bagian masing-masing ahli
waris?
Penyelesaian
Diketahui :
Bapak = 1/6
(karena ada anak laki-laki)
Ibu = 1/6
(karena ada anak)
Suami = 1/4
(karena ada anak)
Anak laki-laki = Asabah bi
al-Nafsi
anak perempuan = Asabah bi
al-Ghair
Asal masalah
(KPK) = 12
Bapak = 1/6 x 12
= 2
Ibu = 1/6 x
12 = 2
Suami = 1/4 x 12
= 3
Jumlah = 7
Sisa (bagian anak) = 12 – 7 = 5
Jawab
Bagian bapak =
2/12 x Rp 1.800.000 = Rp 300.000
Bagian ibu =
2/12 x Rp 1.800.000 = Rp 300.000
Bagian suami =
3/12 x Rp 1.800.000 = Rp 450.000
Bagian anak =
5/12 x Rp 1.800.000 = Rp 750.000
Untuk anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian
anak perempuan sehingga dua anak laki-laki mendapat empat bagian dan seorang
anak perempuan mendapat satu bagian. Harga warisan sisanya dibagi lima(5).
Bagian seorang anak laki-laki =
2/5 x Rp750.000 = Rp300.000
Bagian seorang anak perempuan =
1/5 x Rp750.000 = Rp150.000
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-3145763305899807"
crossorigin="anonymous"></script>
[2] H.R Otji Salman
& Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung: PT. Refika Aditama,
2006), cet. ke-2. h. 51
[3] M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalam
Islam,.., h. 26
[5] Al Yasa
Abu Bakar, Ahli Waris Pertalian Darah..., h. 65
[6] Ahmad
Rofiq, Fiqh Mawaris..., h. 60
[7] Al Yasa
Abu Bakar. Ahli Waris Pertalian Darah..., h. 66
[8] Ahmad
Rofiq, Fiqh Mawaris..., h. 60
[9] Al Yasa
Abu Bakar. Ahli Waris Pertalian Darah..., h. 66
[10] Ahmad
Rofiq, Fiqh Mawaris..., h. 61
0 komentar:
Posting Komentar